Sabtu, 21 Oktober 2017

TEORI AGUS COMTE MELAHIRKAN TUJUH PERSPEKTIF


 

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi dan Antropologi

Disusun Oleh:
       SAHUDA (1657020147)

Dosen Pengganti :
Alva Beriansyah, S.Ip.

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) RADEN FATAH

PALEMBANG 1439/2017


BAB I
PENDAHULUAN
Perspektif merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang sesuatu hal, dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal berdasarkan cara-cara tertentu, dan cara-cara tersebut berhubungan dengan asumsi dasar yang menjadi dasarinya, unsur-unsur pembentuknya dan ruang lingkup apa yang dipandangnya.
Perspektif membimbing setiap orang untuk menentukan bagian yang relevan dengan fenomena yang terpilih dari konsep-konsep tertentu untuk dipandang secara rasional.
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa perspektif adalah kerangka kerja konseptual, sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang mempengaruhi perspektif manusia sehingga menghasilkan tindakan dalam suatu konteks situasi tertentu.
Dalam konteks sosiologi juga memiliki perspektif yang memandang proses sosial didasarkan pada sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang melingkupi proses sosial yang terjadi.
Dalam mengamati perubahan ekonomi, politik dan sosial, para teoritisi menggunakan berbagai label dan kategori teoritis yang berbeda untuk menggambarkan ciri-ciri dan struktur masyarakat lama yang telah  runtuh dan tatanan masyarakat baru yang sedang terbentuk. Herbet Spencer melihatnya dengan kategori  masyarakat  militer  dan  industri  serta August Comte  mengujinya dengan tiga tahap perkembangan yaitu tahap teologis, metafisik dan positif atau ilmiah.









BAB II
PEMBAHASAN
 Auguste Comte (1798-1857)
Comte merupakan orang pertama yang menggunakan kata sosiologi dalam upaya mempelajari tentang perilaku manusia. Meskipun Comte yang memberikan istilah positivis, gagasan yang terkandung dalam kata itu bukan dari dia asalanya. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya. Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organic yang kenyataannya lebih dari pada sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan ini.
Social statics dan social dynamics
Comte membagi sosiologi menjadi dua bagian, social statics dan social dynamics. Dengan social statics dimaksudkannya sebagai suatu studi tentang hokum-hukum aksi dan reaksi antara bagian-bagian dari suatu system social. Bagian yang paling penting dari sosiologi menurut Comte adalah apa yang disebutnya dengan social dynamics, yang didefinisikannya sebagai teori tentang perkembangan dan kemajuan masyarakat manusia.[1]
Social statics dimaksudkan Comte sebagai teori tentang wajib daar masyarakat. Sekalipun social statics merupakan bagian yang lebih elementer dalam sosiologi tetapi kedudukannya tidak begitu penting dibandingkan social dynamic. Fungsi dari social static adalah untuk mencari hokum-hukum tentang aksi dan reaksi dari pada berbagai bagian di dalam suatu system social.[2] 
Hukum Tiga Tahap
Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner ummat manusia dari masa primitive sampai ke peradaban Prancis abad ke Sembilan belas yang sangat maju. Hokum ini menjelaskan bahwa masyarakat-masyarakat (atau manusia) berkembang melalui tiga tahap utama, tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan: teologis, metafisik, dan positif.
Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, dan untuk analisa terperinci maka Comte membaginya kedalam periode fetisisme, politeisme dan monoteisme.
Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hokum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi.
Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai data pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak; semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus-menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas.[3]
Pada perkembangan selanjutnya terdapat 7 perspektif dalam sosiologi yang akan dipaparkan dalam tulisan ini yaitu :
1. Perspektif Struktural Fungsional
Tokoh-tokoh perpektif ini yang dikenal luas antara lain: Talcot Parsons, Neil Smelser. Ciri pokok perspektif ini adalah gagasan tentang kebutuhan masyarakat (societal needs). Masyarakat sangat serupa dengan organisme biologis, karena mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar masyarakat dapatmelangsungkan keberadaannya atau setidaknya berfungsi dengan baik. Ciri dasar kehidupan sosial struktur sosial muncul untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan merespon terhadap permintaan masyarakat sebagai suatu sistem sosial. Asumsinya adalah ciri-ciri sosial yang ada memberi kontribusi yang penting dalam mempertahankan hidup dan kesejahteraan seluruh masyarakat atau subsistem utama dari masyarakat tersebut. Pemahaman seperti ini dalam pandangan Talcot Parsons menghantarkan kita untuk memahami masyarakat manusia dipelajari seperti mempelajari tubuh manusia.
a. Struktur tubuh manusia memiliki berbagai bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Oleh karena itu, masyarakat mempunyai kelembagaan yang saling terkait dan tergantung satu sama lain.
b. Oleh karena setiap bagian tubuh manusia memiliki fungsi yang jelas dan khas, demikian pula setiap bentuk kelembagaan dalam masyarakat. Setiap lembaga dalam masyarakat melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas dan pertumbuhan masyarakat tersebut. Functional imperative menggambarkan empat tugas utama yang harus dilakukan agar masyarakat tidak mati yaitu :
Adaptation to the environment : Contoh lembaga ekonomi
Goal attainment Contoh : pemerintah bertugas untuk mencapai tujuan umum
Integration Contoh : lembaga hukum, dan lembaga agama
Latentcy Contoh : keluarga dan lembaga pendidikan bertugas untuk usaha pemiliharaan.
Analogi dengan tubuh manusia mengakibatkan Parsons merumuskan konsep keseimbangan dinamis-stasioner, jika satu bagian tubuh manusia berubah maka bagian lain akan mengikutinya. Demikian juga dengan masyarakat, masyarakat selalu mengalami perubahan tetapi teratur. Perubahan sosial terjadi pada satu lembaga akan berakibat perubahan di lembaga lain untuk mencapai keseimbangan baru. Berikutnya Parsons merumuskan konsep faktor kebakuan dan pengukur (pattern variables) untuk menjelaskan perbedaan masyarakat tradisional dengan masyarakat modern. Faktor kebakuan dan pengukur ini menjadi alat utama untuk memahami hubungan sosial yang berlangsung berulang dan terwujud dalam sistem kebudayaan. Faktor tersebut adalah :
Particularistic vs Universalistic
Masyarakat tradisional cenderung untuk berhubungan dengan anggota masyarakat dari kelompok lain sehingga ada rasa untuk memikul tanggungjawab bersama. Masyarakat modern berhubungan satu sama lain dengan batas norma-norma universal yang pribadi
Collective vs Self Orientation
Masyarakat tradisional biasanya memiliki kewajiban-kewajiban kekeluargaan, komunitas dan kesukuan. Masyarakat modern lebih bersifat individualistik
Ascription vs Achievement
Masyarakat tradisional memandang penting status bawaan dan warisan, masyarakat modern tumbuh dalam persaingan yang ketat dan dinilai melalui prestasi
Functional Difused vs Functionally Specific
Masyarakat tradisional belum merumuskan fungsi kelembagaan secara jelas. Masyarakat modern sudah jelas merumuskan tugas kelembagaannya.
Dari sejumlah asumsi dasar tersebut maka secara esensial pendekatan ini mengkaji kehidupan sosial manusia sebagai berikut :
Masyarakat merupakan sistem yaang kompleks yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan tergantung satu sama lain, serta setiap bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya.
Setiap bagian dari suatu masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi dalam memelihara eksistensi dan stablitas masyarakat secara keseluruhan.
Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan dirinya yaitu mekanisme yang dapat merekatkanya menjadi satu. Mekanisme ini adalah komitmen para anggota masyarakat kepada serangkaian kepercayaann dan nilai yang sama.
Masyarakat cenderung mengarah pada suatu keseimbangan (equilibrium) dan gangguan pada salah satu bagiannya cenderung menimbulkan penyesuaian pada bagian lain agar tercipta harmoni atau stabilitas.
Perubahan sosial merupakan kejadian yang tidak biasa dalam masyarakat, tetapi bila itu terjadi, maka perubahan itu pada umumnya akan membawa kepada konsekuensi-konsekuensi yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.
2. Perspektif Konflik
Manusia membuat sejarah; sejarah yang kita buat selalu terjadi dalam suasana interaksi dengan orang lain. Manusia adalah mahluk sosial yang keberadaannya diciptakan dalam acuan interaksi sosial. Karena itu beberapa pemikir melihat interaksi sosial sebagai mekanisme yang mengerakan perubahan, terutama menggerakan konflik. Beberapa tokoh seperti Ibnu Khaldun, Karl Marx, Vilfredo Pareto melihat jalannya sejarah didorong oleh konflik antar manusia.
Perhatian manusia terhadap konflik telah tercermin dalam literatur kuno. Max Weber menyatakan perang antar dewa di zaman kuno bukan hanya untuk melindungi kebenaran nilai-nilai kehidupan sehari-hari, tetapi juga keharusan memerangi dewa-dewa lain, sebagai komunitas mereka juga berperang dan dalam peperangan inipun mereka harus membuktikan kemahakuasaan mereka. Sebagai contoh dalam mitologi Yunani mengenal Ares dewa perang yang dibenci oleh dewa-dewa lain karena sifatnnya yang kejam, saudara perempuannya Eris adalah dewi percekcokan yang gemar bertengkar dan berperang. Rekannya dari Romawi adalahMars dan Discardia.
Sejumlah pengamat politik dan sosial lain menekankan pentingnya konflik dalam kehidupan manusia; antara lain Polybius sejarawan Romawi, Khaldun, Machiavelli, Jean Bodin dan Thomas Hobbes
Konflik antar kepentingan diri sendiri dan kepentingan sosial meliputi karya Adam Smith, temuan Charles Darwin yang menyatakan bahwa “Yang kuatlah yang paling beruntung dalam perjuangan mempertahankan hidup.”Ide Darwin diterapkan pada tatanan sosial dalam ideologi sosial Darwinisme, yang mula-mula menerapkannya adalah Herbert Spencerdan WG Summer. Mereka menyatakan apa yang kemudian diakui sebagai landasan pembenaran ilmiah bagi taktik bisnis yang kejam dari kapten industri abad 19. Para kapten industri adalah anggota masyarakat yang terkuat dan orang yang kurang mampu yang tidak cakap harus menerima nasib mereka demi kesejahteraan masyarakat.
Jadi, evolusi sosial dibayangkan sejalan dengan evolusi biologis. Orang yang mampu bertahan hidup terbukti adalah orang yang terkuat. Di Amerika abad 19, kapten industri adalah mereka yanng terkuat, pemenang dari perjuangan keras untuk mempertahankan hidup dalam dunia bisnis.
Pandangan tersebut yang kemudian mendasari asumsi bahw evolusi sosial dan kultural sepenuhnya adalah hasil dari konflik antar kelompok.
Perang antar kelompok dapat disamakan dengan perjuangan untuk mempertahankan hidup dan yang terkuatlah yang menang dalam kehidupan sosial. Kebencian yang besar dan yang melekat antar kelompok, antar ras dan antar orang yang berbeda menyebabkan konflik tak terelakan.
Penaklukan dan pemuasan kebutuhan melalui pemerasan tenaga kerja dan ditaklukan merupakan tema besar sejarah manusia.
Vilfredo Pareto melukiskan sejarah sebagai perjuangan memperebutkan kekuasaan yang tak berkesudahan, kelompok dominan berusaha memelihara dan mempertahankan kedudukannya; kekuatan adalah faktor terpenting dalam mempertahankan stabilitas, kekerasan mungkin diperlukan untuk memulihkan keseimbangan sosial jika keseimbangan itu terganggu. Kekerasan tidak memerlukan pembenaran moral, karena kekerasan mempunyai kualitas pembaharuan membebaskan manusia untuk mengikuti ketentuan tak rasional dari sifat bawaannya sendiri.
Albion Small dan Lester Ward menegaskan bahwa setiap jenis struktur apakah inorganik, organik atau sosial diciptakan oleh interaksi kekuatan-kekuatan yang bersifat antagonis. Interaksi demikian merupakan hukum universal dan hukum itu berarti bahwa struktur terus menerus berubah, mulai dari tingkat primordial yang sangat sederhana hingga ke tingkat kedua yang lebih rumpil.
Berbeda dengan pandangan Pareto, Wardtidak menghubungkan konflik antar kelompok dengan kebencian bawaan tetapi lebih disebabkan pelanggaran tak terelakkan oleh satu kelompok atas hak dan wilayah kelompok lain. Dari konflik antar kelompok ini munculah negara dan konflik antar negara memperbesar efisiensi sosial dan meningkatkan peradaban.
Menurut Dahrendorf, konflik sosial mempunyai sumber struktural yakni hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi sosial, dengan kata lain konflik antar kelompok dapat dilihat dari sudut konflik tentang keabsahan hubungan kekuasaan yang ada.
Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perspektif ini memiliki proporsi sebagai berikut :
Setiap masyarakat dalam segala hal tunduk pada proses perubahan; perubahan sosial terjadi dimana saja.
Setiap masyarakat dalam segala hal memperlihatkan ketidaksesuaian dan konflik; konflik sosial terdapat dimana saja.
Setiap unsur dalam masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahannya
Setiap masyarakat berdasarkan atas penggunaan kekerasan oleh sebagian anggotanya terhadap anggota yang lain.
3. Perspektif Interaksi Simbolik
Manusia itu mahluk sosial (hidup berkelompok). Sebagai mahluk sosial, mereka berinteraksi dan berkomunikasi dengan menggunakan simbol-simbol tertentu (a.l. bahasa). Ingat manusia adalah animal symbolicum. Namun, simbol-simbol itu tidak hanya untuk keperluan berhubungan antarpribadi, melainkan juga untuk keperluan pribadi (berpikir). Setiap orang/kelompok akan memaksakan pandangannya sendiri (self-image) kepada pihak lain ~ tercipta proses “desak-mendesak” sampai kemudian terwujud WORKING CONSENSUS yang memungkinkan adanya tindakan-tindakan bersama. Working consensus itu memberi arahan tentang rencana (strategi menuju tujuan) bersama dalam hidup bermasyarakat. Jadi pada tingkat mikro pun, setiap orang berusaha belajar memahami orang lain. Oleh sebab itu, sistem sosial pun mengalami MORFOGENESE (terus belajar dan mengubah dirinya sendiri). HUKUM pun dapat dipandang sebagai hasil dari morfogenese.
Teori ini juga bisa menjelaskan fenomena persekutuan sesaat yang kerap terjadi dalam konflik politik. Lewis Coser misalnya menjelaskan tentang adanya "conflict binds antagonistists” (kelompok-kelompok yang bertentangan dapat bersatu demi menghadapi lawan bersama). Jadi image tentang "musuh" mengalamai morfogenese terkait dengan rencana dan kebutuhan situasional. Akibatnya, pihak-pihak ini membuat sebuah working consensus mengubah definisi musuh dan melakukan tindakan atas musuh bersama tadi. Di sini berlaku adigium yang sering terjadi dalam dunia politik antar-bangsa yakni "musuh dari musuh saya adalah kawan saya." Pada PD II, pasukan Chiang & Mao berhenti berperang demi menghadapi musuh bersama mereka yaitu Jepang; namun ketika Jepang berhasil dikalahkan, kedua kelompok ini kembali bersitegang. Hal serupa terjadi di Indonesia. Setelah G-30-S/PKI, berbagai kelompok sosial dan keagamaan di Indonesia bersatu menghadapi PKI, melupakan untuk sementara pebedaan terjadi.

4. Teori Pertukaran Sosial
Teori Pertukaran Sosial berpendapat manusia itu mahluk yang penuh pamrih.
Setiap orang ingin mendapatkan keuntungan dari hubungannya dengan orang lain. KEUNTUNGAN = IMBALAN (respons pihak lain) – BIAYA (kewajiban, rasa khawatir, kebosanan dll.). Perhitungan keuntungan itu merupakan pilihan rasional  (rational choice theory). Di sini terjadi pertukaran (take and give) antara IMBALAN dan BIAYA. Sekalipun demikian, dalam hal tertentu, manusia juga sadar tidak selalu keuntungan berada di pihaknya. Oleh sebab itu, untuk sementara seseorang dapat saja berkorban demi perhitungan keuntungan di kemudian hari.

Pertukaran sosial tidaklah sama dengan pertukaran ekonomi. Pada pertukaran sosial, prestasi dari para pihak tidak harus spesifik, sementara dalam pertukaran ekonomi harus spesifik. Jika dalam pertukaran ekonomi, yang terjadi adalah pertukaran KEWAJIBAN, maka pada pertukaran sosial yang terjadi adalah pertukaran HARAPAN. Ingat, bahwa HARAPAN berarti tidak selalu ada jaminan bahwa suatu hari ia pasti mendapatkan. Prinsip rasionalitas ini sudah disinggung oleh Jeremy Bentham (tokoh utilitarianisme) dengan perhitungan PLEASURE versus PAIN. Kalkulus hedonistis (hedonistic calculus) yang dikembangkannya berangkat dari perhitungan atas faktor-faktor: intensitas (intensity); lamanya kesenangan/penderitaan berlangsung (duration); kepastian akan terjadi (certainty); jauh dekat perasaan (cepat-lambat efeknya) (propinqity); akibat yang ditimbulkan (fecundity); kemurnian (purity); dan jangkauan (extent). Perilaku mabuk (akibat mengkonsumsi minuman keras), misalnya, dapat diukur dengan melihat seberapa banyak pleasure dan pain yang dihasilkan.
Teori Pertukaran Sosial juga kerap kita praktikkan dalam hal kita memutuskan untuk menolong atau tidak menolong orang lain.
5. Teori  Fenomenologi
Syamsir (2006, hal 11), Alfred de eschutz berpendapat bahwa teori fenomenologi adalah tindakan manusia menjadi suatu hubungan social bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakan tertentu dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai suatu yang penuh arti. Pemahaman secara subjektif terhadap sesuatu tindakan sangat menetukan kelangsungan proses interaksi social.
Walaupun istilah fenomenologi untuk menandai suatu metode filsafat yang ditemukan oleh Edmund huserl, namun mereka yang telah merujukkan diri mereka dengan menamakan kaum fenomenologis atau yang dianggap kaum lain. Fenomenologi bukanlah suatu aliran atau suatu system. Bahkan istilah ” gerakan “ sebagai mana yang digunakan penganut sejarah fenomenologi mengalamatkan suatu kesalahan, ketidak jelasan label fenomenologi tidak menurunkan famornya yang telah diperkenalkan sejak decade abad 19-an. Zeidlin (1998, hal 208).
6. Teori Dependensi (Ketergantungan)
Secara garis besar, teori Dependensi adalah suatu keadaan dimana kePutusan-keputusan utama yang mempengaruhi kemajuan ekonomi di Negara berkembang seperti keputusan mengenai harga komoditi, pola investasi, hubungan moneter, dibuat oleh individu atau institusi di luar Negara yang bersangkutan.
Pada umumnnya memberikan gambaran melalui analisis dialektesis yaitu suatu analisis yang menganggap bahwa gejala-gejala social yang dapat diamati sehari-hari pasti mempunyai penyebab tertentu. Teori ini menjadi titik tolak penyusaian ekonomi terbelakang pada system dunia, sedemikian rupa sehingga menyebabkan terjadinya penyerahan sumber penghasilan daerah ke pusat, sehingga mengakibatkan perekonomian daerah menjadi terbelakang.
Menurut Servaes (1986), teori-tteori Dependensi dan keterbelakangan lahir sebagai hasil “revolusi intelektual” secara umum pada pertengahan tahun 60-an sebagai tantangan para ilmuan Amerika Latin terhadap pandangan Barat mengenai pembangunan . meskipun paradigm Dependensi dapat dikatakan asli Amerika Latin, namun “bapak pendiri” perspektif ini adalah Baran, yang bersama Magdoff dan Sweezy merupakan juru bicara kelompok North American Monthly Review.
Baran merupakan orang pertama dalam mengemukakan bahwa pembangunan dan keterbelakanganharus dilihat sebagai suatu proses yang: (a) saling berhubungan dan berkesinambungan (interrelated and continuous process), dan (b) merupakan dua aspek dari satu proses yang sama, dari keadaan eksistensi yang orisinil. Pada umumnya membahas secara serius masalah colonial yang secara historis membekas pada pertumbuhan di negara-negara Amerika Latin, Afrika dan Asia. Menurut mereka, kecuali dengan suatu pengenalan yang eksplisit akan konsekuensi hubungan tersebut, maka mustahil dapat diperoleh suatu pengertian yang akurat mengenai situsi yang sekarang di negara-negara tersebut. Dengan kata lain bahwa keterbelakangan yang ada sekarang ini merupakan konsekuensi masa penjajahan yang telah dialami oleh negara-negara baru.
Proses keterbelakangan yang melanda negara-negara baru, menurut Furtado (1972) meliputi tiga tahapan historis yang terdiri dari:
1.      Tahap keuntungan-keuntungan komparatif. Selama periode seusai revolusi industry, ketika system divisi tenaga kerja internasional  diciptakan dan ekonomi dunia distrukturkan, negara-negara industry pada umumnya menspesialisasikan diri pada kegiatan-kegiatan yang ditandai dengan kemajuan teknik yang menyebar.
2.      Tahap substitusi impor. Terbentuknya suatu kelompok social kecil dengan keistimewaan (privilages) dikalangan bangsa-bangsa yang terbelakang menimbulkan suatu keharusan untuk mengimpor sejumlah barang-barang tertentu guna memenuhi pola konsumsi yang telah diadopsi kelompok ini dalam meniru bangsa yang kaya.
3.      Tahap berkembangnya perusahaan multi-nasional (PMN). Timbulnya PMN telah menjadi suatu fenomena terpenting dalam tatanan ekonomi internasional, karena transaksi internal yang dilakukan oleh PMN telah mengambil alih operasi pasar yang ada selama ini.
Cardozo menunjukkan unsur keempat yang  menunjang proses keterbelakangan ini, yaitu semakin mantapnya elit-elit local domestic di Negara berkembang oleh elit internasional. Suatu analisis kelas menunjukkan bahwa kemimpinan di banyak Negara berkembang-khususnya di Negara yang paling terintegrasi ke dalam ekonomi pasar dunia-adalah  didukung oleh jalinan hubungan-hubungan bisnis, social dan politik yang dibina selama bertahun-tahun dan dipimpin oleh negara-negara maju.
Sterusnya Baran dan Hobsbauw (1961) menegaskan bahwa untuk menanggulangi masalah keterbelakangan, harus dipahami lebih dulu. Dalam teori tahapan pertumbuhan ekonomi dan model-model pembangunan yang dipengaurhinya tampak seakan-akan negara-negara yang disebut terbelakang itu muncul begitu saja entah dari mana.
Dalam teori semacam itu, negara-negara yang belum berkembang itu digambarkan seolah-olah tidak punya riwayat sejarah, dan mereka begitu saja dikelompokkan bersama di bawah satu label: masayarakat tradisional.
Hubungan ketrgantungan tersebut bukan semata-mata dibidang ekonOmi saja. Para penulis seperti Freire (1968) dan Rayan (1971) menunjukkan bahwa disebarluaskannya idoelogi-ideologi, system-sistem keyakinan, konglomerasi nilai-nilai, dan lain-lain dari negara-negara maju di negara-negara satelit merupakan suatu cara untuk melegitimasikan struktur-struktur kekuasaan yang ada sekarang, berikut keadaan ketergantungan tadi.

7. Teori Modern
Pada permulaan abad ke-20, gelombang besar imigran berdatangan ke Amerika Utara. Gejala itu berakibat pesatnya pertumbuhan penduduk, munculnya kota-kota industri baru, bertambahnya kriminalitas dan lain lain. Konsekuensi gejolak sosial itu, perubahan besar masyarakat pun tak terelakkan.
Perubahan masyarakat itu menggugah para ilmuwan sosial untuk berpikir keras, untuk sampai pada kesadaran bahwa pendekatan sosiologi yang lama di Eropa tidak relevan lagi. Mereka berupaya menemukan pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Maka lahirlah sosiologi modern.
Berkebalikan dengan pendapat sebelumnya, pendekatan sosiologi modern cenderung mikro (lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari mulai dari fakta sosial demi fakta sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Sejak saat itulah disadari betapa pentingnya penelitian (research) dalam sosiologi, dan dalam sosiologi modern ini lebih memunculkan rincian tentang teori-teori dalam konteks lebih luas.








BAB III
PENUTUP

Kita dapat melihat faktor-faktor sosial yang mempengaruhi tindakan sosial kita sebagai bagian dari masyarakat. Perspektif Struktural Fungsional lebih menekankan pada permainan fungsi-fungsi struktural yang ada di dalam masyarakat. Saya berbuat ini atau itu karena saya tunduk pada "aturan main" yang telah dilembagakan demi menjaga tertib sosial. perspektif Konflik melihat dari sisi lain, bahwa saya berbuat ini atau itu justru karena saya tengah terlibat dalam upaya memperebutkan sumber-sumber materi kehidupan  yang terbatas. Jadi, motif penguasaan materi itulah yang utama, yang justru tidak dapat dihindarkan dalam sejarah kehidupan manusia. Perebutan ini jika dibiarkan mengikuti paham kapitalis, pasti akan berujung pada kondisi chaos.  Interaksi Simbolik melihat secara lebih spesifik, bahwa saya berbuat ini atau itu semata-mata karena makna simbolik (image) yang saya yakini terhadap sesuatu. Image yang saya yakini berinteraksi dengan image yang diyakini pihak lain, sehingga suatu ketika terciptalah konsensus yang memandu tindakan bersama atas dasar rencana dan kondisi yang disepekati tersebut.  Teori Pertukaran Sosial yang memandang tindakan sebagai akibat adanya pertukaran harapan antara pain dan pleasure, atau kerugian dan keuntungan.
teori fenomenologi adalah tindakan manusia menjadi suatu hubungan social bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakan tertentu dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai suatu yang penuh arti. Pemahaman secara subjektif terhadap sesuatu tindakan sangat menetukan kelangsungan proses interaksi social. Teori Dependensi adalah suatu keadaan dimana keoutusan-keputusan utama yang mempengaruhi kemajuan ekonomi di Negara berkembang seperti keputusan mengenai harga komoditi, pola investasi, hubungan moneter, dibuat oleh individu atau institusi di luar Negara yang bersangkutan. Secara historis, teori Dependensi lahir atas ketidakmampuan teori Modernisasi membangkitkan ekonomi negara-negara terbelakang, terutama negara di bagian Amerika Latin. Secara teoritik, teori Modernisasi melihat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di negara Dunia Ketiga terjadi karena faktor internal di negara tersebut. Karena faktor internal itulah kemudian negara Dunia Ketiga tidak mampu mencapai kemajuan dan tetap berada dalam keterbelakangan.



DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Zulkarimen,  Komunikasi Pembangunan Pengenalan Teori dan Penerapannya Edisi Revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Elly M. Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Pasar Edisi Kedua, PT Kencana Prenada Media Group, 2007.
Johnson, D.P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta : Gramedia.
Ritzer, G. & Goodman D.J.  2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana. 
George Riter, Douglas J. Goodman, Edit. Tri Wibowo Budi Santoso, Teori Sosiologi Modern, Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2007.
Yesmil Anwar & Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, PT Gramedia Widiasara Indonesia, Jakarta : 2008
Johnson Doyle Paul, 1994, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, pent, Robert M.Z. Lawang, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
  M. Siahaan Hotman, 1997, Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi, Yogyakarta: IKAPI.



[1] Hotman M. Siahaan, Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi, (Yogyakarta: IKAPI, 1997), hal: 104-105
[2] Ibid, hlm 111
[3]Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, pent, Robert M.Z. Lawang (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994). Hlm. 84-85

Tidak ada komentar:

Posting Komentar