TEORI
AGUS COMTE MELAHIRKAN TUJUH PERSPEKTIF
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Sosiologi dan Antropologi
Disusun Oleh:
SAHUDA (1657020147)
Dosen Pengganti :
Alva Beriansyah, S.Ip.
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
ISLAM NEGRI (UIN) RADEN FATAH
PALEMBANG
1439/2017
BAB I
PENDAHULUAN
Perspektif
merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang sesuatu hal, dengan
perspektif orang akan memandang sesuatu hal berdasarkan cara-cara tertentu, dan
cara-cara tersebut berhubungan dengan asumsi dasar yang menjadi dasarinya,
unsur-unsur pembentuknya dan ruang lingkup apa yang dipandangnya.
Perspektif membimbing
setiap orang untuk menentukan bagian yang relevan dengan fenomena yang terpilih
dari konsep-konsep tertentu untuk dipandang secara rasional.
Secara ringkas dapat disimpulkan
bahwa perspektif adalah kerangka kerja konseptual, sekumpulan asumsi, nilai,
gagasan yang mempengaruhi perspektif manusia sehingga menghasilkan tindakan
dalam suatu konteks situasi tertentu.
Dalam konteks sosiologi
juga memiliki perspektif yang memandang proses sosial didasarkan pada
sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang melingkupi proses sosial yang terjadi.
Dalam mengamati
perubahan ekonomi, politik dan
sosial, para teoritisi menggunakan berbagai label dan kategori teoritis yang
berbeda untuk menggambarkan ciri-ciri dan struktur masyarakat lama yang telah runtuh dan tatanan masyarakat baru yang sedang
terbentuk. Herbet Spencer melihatnya
dengan kategori masyarakat militer dan industri serta
August Comte mengujinya dengan tiga tahap perkembangan
yaitu tahap teologis, metafisik dan positif atau ilmiah.
BAB
II
PEMBAHASAN
Auguste
Comte (1798-1857)
Comte merupakan orang pertama yang menggunakan kata
sosiologi dalam upaya mempelajari tentang perilaku manusia. Meskipun Comte yang
memberikan istilah positivis, gagasan yang terkandung dalam kata itu bukan dari
dia asalanya. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari
alam dan bahwa metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk
menemukan hukum-hukumnya. Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan
organic yang kenyataannya lebih dari pada sekedar jumlah bagian-bagian yang
saling tergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan ini.
Social
statics dan social dynamics
Comte membagi sosiologi menjadi dua bagian, social
statics dan social dynamics. Dengan social statics dimaksudkannya sebagai suatu
studi tentang hokum-hukum aksi dan reaksi antara bagian-bagian dari suatu
system social. Bagian yang paling penting dari sosiologi menurut Comte adalah
apa yang disebutnya dengan social dynamics, yang didefinisikannya sebagai teori
tentang perkembangan dan kemajuan masyarakat manusia.[1]
Social statics dimaksudkan Comte sebagai teori
tentang wajib daar masyarakat. Sekalipun social statics merupakan bagian yang
lebih elementer dalam sosiologi tetapi kedudukannya tidak begitu penting
dibandingkan social dynamic. Fungsi dari social static adalah untuk mencari
hokum-hukum tentang aksi dan reaksi dari pada berbagai bagian di dalam suatu
system social.[2]
Hukum
Tiga Tahap
Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk
menjelaskan kemajuan evolusioner ummat manusia dari masa primitive sampai ke
peradaban Prancis abad ke Sembilan belas yang sangat maju. Hokum ini
menjelaskan bahwa masyarakat-masyarakat (atau manusia) berkembang melalui tiga
tahap utama, tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan:
teologis, metafisik, dan positif.
Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, dan
untuk analisa terperinci maka Comte membaginya kedalam periode fetisisme,
politeisme dan monoteisme.
Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan
positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hokum-hukum alam yang
asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi.
Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai data
pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak
mutlak; semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus-menerus
terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan
diperluas.[3]
Pada perkembangan
selanjutnya terdapat 7 perspektif dalam sosiologi yang akan dipaparkan dalam
tulisan ini yaitu :
1. Perspektif Struktural
Fungsional
Tokoh-tokoh perpektif
ini yang dikenal luas antara lain: Talcot Parsons, Neil Smelser. Ciri pokok perspektif
ini adalah gagasan tentang kebutuhan masyarakat (societal needs).
Masyarakat sangat serupa dengan organisme biologis, karena mempunyai
kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar masyarakat
dapatmelangsungkan keberadaannya atau setidaknya berfungsi dengan baik. Ciri
dasar kehidupan sosial struktur sosial muncul untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan merespon terhadap permintaan masyarakat
sebagai suatu sistem sosial. Asumsinya adalah ciri-ciri sosial yang ada memberi
kontribusi yang penting dalam mempertahankan hidup dan kesejahteraan seluruh
masyarakat atau subsistem utama dari masyarakat tersebut. Pemahaman seperti ini
dalam pandangan Talcot Parsons menghantarkan kita untuk memahami
masyarakat manusia dipelajari seperti mempelajari tubuh manusia.
a. Struktur
tubuh manusia memiliki berbagai bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
Oleh karena itu, masyarakat mempunyai kelembagaan yang saling terkait dan
tergantung satu sama lain.
b. Oleh
karena setiap bagian tubuh manusia memiliki fungsi yang jelas dan khas,
demikian pula setiap bentuk kelembagaan dalam masyarakat. Setiap lembaga dalam
masyarakat melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas dan pertumbuhan
masyarakat tersebut. Functional imperative menggambarkan
empat tugas utama yang harus dilakukan agar masyarakat tidak mati yaitu :
Adaptation to the environment
: Contoh lembaga ekonomi
Goal attainment
Contoh : pemerintah bertugas untuk mencapai tujuan umum
Integration Contoh : lembaga
hukum, dan lembaga agama
Latentcy Contoh : keluarga dan
lembaga pendidikan bertugas untuk usaha pemiliharaan.
Analogi dengan tubuh
manusia mengakibatkan Parsons merumuskan konsep keseimbangan dinamis-stasioner,
jika satu bagian tubuh manusia berubah maka bagian lain akan mengikutinya.
Demikian juga dengan masyarakat, masyarakat selalu mengalami perubahan tetapi
teratur. Perubahan sosial terjadi pada satu lembaga akan berakibat perubahan di
lembaga lain untuk mencapai keseimbangan baru. Berikutnya Parsons
merumuskan konsep faktor kebakuan dan pengukur (pattern variables) untuk
menjelaskan perbedaan masyarakat tradisional dengan masyarakat modern. Faktor
kebakuan dan pengukur ini menjadi alat utama untuk memahami hubungan sosial
yang berlangsung berulang dan terwujud dalam sistem kebudayaan. Faktor tersebut
adalah :
Particularistic vs Universalistic
Masyarakat
tradisional cenderung untuk berhubungan dengan anggota masyarakat dari kelompok
lain sehingga ada rasa untuk memikul tanggungjawab bersama. Masyarakat modern
berhubungan satu sama lain dengan batas norma-norma universal yang pribadi
Collective vs Self Orientation
Masyarakat
tradisional biasanya memiliki kewajiban-kewajiban kekeluargaan, komunitas dan
kesukuan. Masyarakat modern lebih bersifat individualistik
Ascription vs Achievement
Masyarakat
tradisional memandang penting status bawaan dan warisan, masyarakat modern
tumbuh dalam persaingan yang ketat dan dinilai melalui prestasi
Functional Difused vs Functionally
Specific
Masyarakat
tradisional belum merumuskan fungsi kelembagaan secara jelas. Masyarakat modern
sudah jelas merumuskan tugas kelembagaannya.
Dari sejumlah asumsi
dasar tersebut maka secara esensial pendekatan ini mengkaji kehidupan sosial
manusia sebagai berikut :
Masyarakat
merupakan sistem yaang kompleks yang terdiri dari bagian-bagian yang saling
berhubungan dan tergantung satu sama lain, serta setiap bagian tersebut
berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya.
Setiap
bagian dari suatu masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi dalam
memelihara eksistensi dan stablitas masyarakat secara keseluruhan.
Semua masyarakat mempunyai mekanisme
untuk mengintegrasikan dirinya yaitu mekanisme yang dapat merekatkanya menjadi
satu. Mekanisme ini adalah komitmen para anggota masyarakat kepada serangkaian
kepercayaann dan nilai yang sama.
Masyarakat
cenderung mengarah pada suatu keseimbangan (equilibrium) dan gangguan pada salah satu
bagiannya cenderung menimbulkan penyesuaian pada bagian lain agar tercipta
harmoni atau stabilitas.
Perubahan sosial merupakan kejadian
yang tidak biasa dalam masyarakat, tetapi bila itu terjadi, maka perubahan itu
pada umumnya akan membawa kepada konsekuensi-konsekuensi yang menguntungkan
masyarakat secara keseluruhan.
2. Perspektif Konflik
Manusia membuat sejarah;
sejarah yang kita buat selalu terjadi dalam suasana interaksi dengan orang
lain. Manusia adalah mahluk sosial yang keberadaannya diciptakan dalam acuan
interaksi sosial. Karena itu beberapa pemikir melihat interaksi sosial sebagai
mekanisme yang mengerakan perubahan, terutama menggerakan konflik. Beberapa
tokoh seperti Ibnu Khaldun, Karl Marx, Vilfredo Pareto melihat jalannya sejarah didorong
oleh konflik antar manusia.
Perhatian manusia
terhadap konflik telah tercermin dalam literatur kuno. Max Weber menyatakan perang antar dewa di zaman kuno bukan hanya untuk melindungi
kebenaran nilai-nilai kehidupan sehari-hari, tetapi juga keharusan memerangi
dewa-dewa lain, sebagai komunitas mereka juga berperang dan dalam peperangan
inipun mereka harus membuktikan kemahakuasaan mereka. Sebagai contoh dalam mitologi
Yunani mengenal Ares dewa perang yang dibenci oleh
dewa-dewa lain karena sifatnnya yang kejam, saudara perempuannya Eris adalah dewi percekcokan yang gemar
bertengkar dan berperang. Rekannya dari Romawi adalahMars dan Discardia.
Sejumlah
pengamat politik dan sosial lain menekankan pentingnya konflik dalam kehidupan
manusia; antara lain Polybius sejarawan Romawi, Khaldun, Machiavelli,
Jean Bodin dan Thomas Hobbes
Konflik
antar kepentingan diri sendiri dan kepentingan sosial meliputi karya Adam
Smith, temuan Charles Darwin yang menyatakan bahwa “Yang kuatlah yang paling
beruntung dalam perjuangan mempertahankan hidup.”Ide
Darwin diterapkan pada tatanan sosial dalam ideologi sosial Darwinisme, yang
mula-mula menerapkannya adalah Herbert Spencerdan WG
Summer. Mereka menyatakan apa yang kemudian
diakui sebagai landasan pembenaran ilmiah bagi taktik bisnis yang kejam dari
kapten industri abad 19. Para kapten industri adalah anggota masyarakat yang terkuat dan
orang yang kurang mampu yang tidak cakap harus menerima nasib mereka demi
kesejahteraan masyarakat.
Jadi, evolusi sosial
dibayangkan sejalan dengan evolusi biologis. Orang yang mampu bertahan hidup
terbukti adalah orang yang terkuat. Di Amerika abad 19, kapten industri adalah
mereka yanng terkuat, pemenang dari perjuangan keras untuk mempertahankan hidup
dalam dunia bisnis.
Pandangan tersebut yang
kemudian mendasari asumsi bahw evolusi sosial dan kultural sepenuhnya adalah
hasil dari konflik antar kelompok.
Perang
antar kelompok dapat disamakan dengan perjuangan untuk mempertahankan hidup dan
yang terkuatlah yang menang dalam kehidupan sosial. Kebencian yang besar dan
yang melekat antar kelompok, antar ras dan antar orang yang berbeda menyebabkan
konflik tak terelakan.
Penaklukan dan pemuasan
kebutuhan melalui pemerasan tenaga kerja dan ditaklukan merupakan tema besar
sejarah manusia.
Vilfredo Pareto melukiskan sejarah sebagai perjuangan memperebutkan kekuasaan yang
tak berkesudahan, kelompok dominan berusaha memelihara dan mempertahankan
kedudukannya; kekuatan adalah faktor terpenting dalam mempertahankan
stabilitas, kekerasan mungkin diperlukan untuk memulihkan keseimbangan sosial
jika keseimbangan itu terganggu. Kekerasan tidak memerlukan pembenaran moral,
karena kekerasan mempunyai kualitas pembaharuan membebaskan manusia untuk
mengikuti ketentuan tak rasional dari sifat bawaannya sendiri.
Albion Small dan Lester
Ward menegaskan bahwa setiap
jenis struktur apakah inorganik, organik atau sosial diciptakan oleh interaksi
kekuatan-kekuatan yang bersifat antagonis. Interaksi demikian merupakan hukum
universal dan hukum itu berarti bahwa struktur terus menerus berubah, mulai
dari tingkat primordial yang sangat sederhana hingga ke tingkat kedua yang
lebih rumpil.
Berbeda dengan pandangan
Pareto, Wardtidak menghubungkan
konflik antar kelompok dengan kebencian bawaan tetapi lebih disebabkan
pelanggaran tak terelakkan oleh satu kelompok atas hak dan wilayah kelompok
lain. Dari konflik antar kelompok ini munculah negara dan konflik antar negara
memperbesar efisiensi sosial dan meningkatkan peradaban.
Menurut Dahrendorf, konflik sosial mempunyai sumber
struktural yakni hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi
sosial, dengan kata lain konflik antar kelompok dapat dilihat dari sudut
konflik tentang keabsahan hubungan kekuasaan yang ada.
Dari uraian tersebut
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perspektif ini memiliki proporsi sebagai
berikut :
Setiap
masyarakat dalam segala hal tunduk pada proses perubahan; perubahan sosial
terjadi dimana saja.
Setiap
masyarakat dalam segala hal memperlihatkan ketidaksesuaian dan konflik; konflik
sosial terdapat dimana saja.
Setiap
unsur dalam masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan
perubahannya
Setiap
masyarakat berdasarkan atas penggunaan kekerasan oleh sebagian anggotanya
terhadap anggota yang lain.
3. Perspektif
Interaksi Simbolik
Manusia itu mahluk sosial (hidup berkelompok).
Sebagai mahluk sosial, mereka berinteraksi dan berkomunikasi dengan menggunakan
simbol-simbol tertentu (a.l. bahasa). Ingat manusia adalah animal
symbolicum. Namun, simbol-simbol itu tidak hanya untuk keperluan
berhubungan antarpribadi, melainkan juga untuk keperluan pribadi (berpikir).
Setiap orang/kelompok akan memaksakan pandangannya sendiri (self-image)
kepada pihak lain ~ tercipta proses “desak-mendesak” sampai kemudian
terwujud WORKING CONSENSUS yang memungkinkan adanya tindakan-tindakan
bersama. Working consensus itu memberi arahan tentang rencana
(strategi menuju tujuan) bersama dalam hidup bermasyarakat.
Jadi pada tingkat mikro pun, setiap orang berusaha
belajar memahami orang lain. Oleh sebab itu, sistem sosial pun mengalami
MORFOGENESE (terus belajar dan mengubah dirinya sendiri). HUKUM pun dapat
dipandang sebagai hasil dari morfogenese.
Teori ini juga bisa menjelaskan fenomena persekutuan sesaat yang kerap terjadi dalam konflik politik. Lewis Coser misalnya menjelaskan tentang adanya "conflict binds antagonistists” (kelompok-kelompok yang bertentangan dapat bersatu demi menghadapi lawan bersama). Jadi image tentang "musuh" mengalamai morfogenese terkait dengan rencana dan kebutuhan situasional. Akibatnya, pihak-pihak ini membuat sebuah working consensus mengubah definisi musuh dan melakukan tindakan atas musuh bersama tadi. Di sini berlaku adigium yang sering terjadi dalam dunia politik antar-bangsa yakni "musuh dari musuh saya adalah kawan saya." Pada PD II, pasukan Chiang & Mao berhenti berperang demi menghadapi musuh bersama mereka yaitu Jepang; namun ketika Jepang berhasil dikalahkan, kedua kelompok ini kembali bersitegang. Hal serupa terjadi di Indonesia. Setelah G-30-S/PKI, berbagai kelompok sosial dan keagamaan di Indonesia bersatu menghadapi PKI, melupakan untuk sementara pebedaan terjadi.
Teori ini juga bisa menjelaskan fenomena persekutuan sesaat yang kerap terjadi dalam konflik politik. Lewis Coser misalnya menjelaskan tentang adanya "conflict binds antagonistists” (kelompok-kelompok yang bertentangan dapat bersatu demi menghadapi lawan bersama). Jadi image tentang "musuh" mengalamai morfogenese terkait dengan rencana dan kebutuhan situasional. Akibatnya, pihak-pihak ini membuat sebuah working consensus mengubah definisi musuh dan melakukan tindakan atas musuh bersama tadi. Di sini berlaku adigium yang sering terjadi dalam dunia politik antar-bangsa yakni "musuh dari musuh saya adalah kawan saya." Pada PD II, pasukan Chiang & Mao berhenti berperang demi menghadapi musuh bersama mereka yaitu Jepang; namun ketika Jepang berhasil dikalahkan, kedua kelompok ini kembali bersitegang. Hal serupa terjadi di Indonesia. Setelah G-30-S/PKI, berbagai kelompok sosial dan keagamaan di Indonesia bersatu menghadapi PKI, melupakan untuk sementara pebedaan terjadi.
4. Teori Pertukaran Sosial
Teori Pertukaran Sosial berpendapat manusia itu
mahluk yang penuh pamrih.
Setiap orang ingin mendapatkan keuntungan dari hubungannya dengan orang lain. KEUNTUNGAN = IMBALAN (respons pihak lain) – BIAYA (kewajiban, rasa khawatir, kebosanan dll.). Perhitungan keuntungan itu merupakan pilihan rasional (rational choice theory). Di sini terjadi pertukaran (take and give) antara IMBALAN dan BIAYA. Sekalipun demikian, dalam hal tertentu, manusia juga sadar tidak selalu keuntungan berada di pihaknya. Oleh sebab itu, untuk sementara seseorang dapat saja berkorban demi perhitungan keuntungan di kemudian hari.
Pertukaran sosial tidaklah sama dengan pertukaran ekonomi. Pada pertukaran sosial, prestasi dari para pihak tidak harus spesifik, sementara dalam pertukaran ekonomi harus spesifik. Jika dalam pertukaran ekonomi, yang terjadi adalah pertukaran KEWAJIBAN, maka pada pertukaran sosial yang terjadi adalah pertukaran HARAPAN. Ingat, bahwa HARAPAN berarti tidak selalu ada jaminan bahwa suatu hari ia pasti mendapatkan. Prinsip rasionalitas ini sudah disinggung oleh Jeremy Bentham (tokoh utilitarianisme) dengan perhitungan PLEASURE versus PAIN. Kalkulus hedonistis (hedonistic calculus) yang dikembangkannya berangkat dari perhitungan atas faktor-faktor: intensitas (intensity); lamanya kesenangan/penderitaan berlangsung (duration); kepastian akan terjadi (certainty); jauh dekat perasaan (cepat-lambat efeknya) (propinqity); akibat yang ditimbulkan (fecundity); kemurnian (purity); dan jangkauan (extent). Perilaku mabuk (akibat mengkonsumsi minuman keras), misalnya, dapat diukur dengan melihat seberapa banyak pleasure dan pain yang dihasilkan.
Setiap orang ingin mendapatkan keuntungan dari hubungannya dengan orang lain. KEUNTUNGAN = IMBALAN (respons pihak lain) – BIAYA (kewajiban, rasa khawatir, kebosanan dll.). Perhitungan keuntungan itu merupakan pilihan rasional (rational choice theory). Di sini terjadi pertukaran (take and give) antara IMBALAN dan BIAYA. Sekalipun demikian, dalam hal tertentu, manusia juga sadar tidak selalu keuntungan berada di pihaknya. Oleh sebab itu, untuk sementara seseorang dapat saja berkorban demi perhitungan keuntungan di kemudian hari.
Pertukaran sosial tidaklah sama dengan pertukaran ekonomi. Pada pertukaran sosial, prestasi dari para pihak tidak harus spesifik, sementara dalam pertukaran ekonomi harus spesifik. Jika dalam pertukaran ekonomi, yang terjadi adalah pertukaran KEWAJIBAN, maka pada pertukaran sosial yang terjadi adalah pertukaran HARAPAN. Ingat, bahwa HARAPAN berarti tidak selalu ada jaminan bahwa suatu hari ia pasti mendapatkan. Prinsip rasionalitas ini sudah disinggung oleh Jeremy Bentham (tokoh utilitarianisme) dengan perhitungan PLEASURE versus PAIN. Kalkulus hedonistis (hedonistic calculus) yang dikembangkannya berangkat dari perhitungan atas faktor-faktor: intensitas (intensity); lamanya kesenangan/penderitaan berlangsung (duration); kepastian akan terjadi (certainty); jauh dekat perasaan (cepat-lambat efeknya) (propinqity); akibat yang ditimbulkan (fecundity); kemurnian (purity); dan jangkauan (extent). Perilaku mabuk (akibat mengkonsumsi minuman keras), misalnya, dapat diukur dengan melihat seberapa banyak pleasure dan pain yang dihasilkan.
Teori
Pertukaran Sosial juga kerap kita praktikkan dalam hal kita memutuskan untuk
menolong atau tidak menolong orang lain.
5. Teori Fenomenologi
Syamsir
(2006, hal 11), Alfred de eschutz berpendapat bahwa teori fenomenologi adalah
tindakan manusia menjadi suatu hubungan social bila manusia memberikan arti
atau makna tertentu terhadap tindakan tertentu dan manusia lain memahami pula
tindakannya itu sebagai suatu yang penuh arti. Pemahaman secara subjektif
terhadap sesuatu tindakan sangat menetukan kelangsungan proses interaksi
social.
Walaupun
istilah fenomenologi untuk menandai suatu metode filsafat yang ditemukan oleh
Edmund huserl, namun mereka yang telah merujukkan diri mereka dengan menamakan
kaum fenomenologis atau yang dianggap kaum lain. Fenomenologi bukanlah suatu
aliran atau suatu system. Bahkan istilah ” gerakan “ sebagai mana yang
digunakan penganut sejarah fenomenologi mengalamatkan suatu kesalahan, ketidak
jelasan label fenomenologi tidak menurunkan famornya yang telah diperkenalkan
sejak decade abad 19-an. Zeidlin (1998, hal 208).
6. Teori
Dependensi (Ketergantungan)
Secara garis besar, teori Dependensi adalah suatu
keadaan dimana kePutusan-keputusan utama yang mempengaruhi kemajuan ekonomi di
Negara berkembang seperti keputusan mengenai harga komoditi, pola investasi,
hubungan moneter, dibuat oleh individu atau institusi di luar Negara yang
bersangkutan.
Pada umumnnya memberikan gambaran melalui analisis
dialektesis yaitu suatu analisis yang menganggap bahwa gejala-gejala social
yang dapat diamati sehari-hari pasti mempunyai penyebab tertentu. Teori ini
menjadi titik tolak penyusaian ekonomi terbelakang pada system dunia,
sedemikian rupa sehingga menyebabkan terjadinya penyerahan sumber penghasilan
daerah ke pusat, sehingga mengakibatkan perekonomian daerah menjadi
terbelakang.
Menurut Servaes (1986), teori-tteori Dependensi dan
keterbelakangan lahir sebagai hasil “revolusi intelektual” secara umum pada
pertengahan tahun 60-an sebagai tantangan para ilmuan Amerika Latin terhadap
pandangan Barat mengenai pembangunan . meskipun paradigm Dependensi dapat
dikatakan asli Amerika Latin, namun “bapak pendiri” perspektif ini adalah
Baran, yang bersama Magdoff dan Sweezy merupakan juru bicara kelompok North
American Monthly Review.
Baran merupakan orang pertama dalam mengemukakan
bahwa pembangunan dan keterbelakanganharus dilihat sebagai suatu
proses yang: (a) saling berhubungan dan berkesinambungan (interrelated and
continuous process), dan (b) merupakan dua aspek dari satu proses yang sama, dari
keadaan eksistensi yang orisinil. Pada umumnya membahas secara serius masalah
colonial yang secara historis membekas pada pertumbuhan di negara-negara
Amerika Latin, Afrika dan Asia. Menurut mereka, kecuali dengan suatu pengenalan
yang eksplisit akan konsekuensi hubungan tersebut, maka mustahil dapat
diperoleh suatu pengertian yang akurat mengenai situsi yang sekarang di
negara-negara tersebut. Dengan kata lain bahwa keterbelakangan yang ada
sekarang ini merupakan konsekuensi masa penjajahan yang telah dialami oleh
negara-negara baru.
Proses keterbelakangan yang melanda negara-negara
baru, menurut Furtado (1972) meliputi tiga tahapan historis yang terdiri dari:
1. Tahap
keuntungan-keuntungan komparatif. Selama periode seusai revolusi
industry, ketika system divisi tenaga kerja internasional diciptakan
dan ekonomi dunia distrukturkan, negara-negara industry pada umumnya
menspesialisasikan diri pada kegiatan-kegiatan yang ditandai dengan kemajuan
teknik yang menyebar.
2. Tahap
substitusi impor. Terbentuknya suatu kelompok social kecil dengan
keistimewaan (privilages) dikalangan bangsa-bangsa yang terbelakang menimbulkan
suatu keharusan untuk mengimpor sejumlah barang-barang tertentu guna memenuhi
pola konsumsi yang telah diadopsi kelompok ini dalam meniru bangsa yang kaya.
3. Tahap
berkembangnya perusahaan multi-nasional (PMN). Timbulnya PMN telah menjadi
suatu fenomena terpenting dalam tatanan ekonomi internasional, karena transaksi
internal yang dilakukan oleh PMN telah mengambil alih operasi pasar yang ada
selama ini.
Cardozo menunjukkan unsur keempat
yang menunjang proses keterbelakangan ini, yaitu semakin mantapnya
elit-elit local domestic di Negara berkembang oleh elit internasional. Suatu
analisis kelas menunjukkan bahwa kemimpinan di banyak Negara
berkembang-khususnya di Negara yang paling terintegrasi ke dalam ekonomi pasar
dunia-adalah didukung oleh jalinan hubungan-hubungan bisnis, social
dan politik yang dibina selama bertahun-tahun dan dipimpin oleh negara-negara
maju.
Sterusnya Baran dan Hobsbauw (1961) menegaskan
bahwa untuk menanggulangi masalah keterbelakangan, harus dipahami lebih dulu. Dalam
teori tahapan pertumbuhan ekonomi dan model-model pembangunan yang
dipengaurhinya tampak seakan-akan negara-negara yang disebut terbelakang itu
muncul begitu saja entah dari mana.
Dalam teori semacam itu, negara-negara yang belum
berkembang itu digambarkan seolah-olah tidak punya riwayat sejarah, dan mereka
begitu saja dikelompokkan bersama di bawah satu label: masayarakat
tradisional.
Hubungan ketrgantungan tersebut bukan semata-mata
dibidang ekonOmi saja. Para penulis seperti Freire (1968) dan Rayan (1971)
menunjukkan bahwa disebarluaskannya idoelogi-ideologi, system-sistem keyakinan,
konglomerasi nilai-nilai, dan lain-lain dari negara-negara maju di
negara-negara satelit merupakan suatu cara untuk melegitimasikan struktur-struktur
kekuasaan yang ada sekarang, berikut keadaan ketergantungan tadi.
7. Teori Modern
Pada permulaan abad ke-20,
gelombang besar imigran berdatangan ke Amerika Utara. Gejala itu berakibat
pesatnya pertumbuhan penduduk, munculnya kota-kota industri baru, bertambahnya
kriminalitas dan lain lain. Konsekuensi gejolak sosial itu, perubahan besar
masyarakat pun tak terelakkan.
Perubahan masyarakat itu
menggugah para ilmuwan sosial untuk berpikir keras, untuk sampai pada kesadaran
bahwa pendekatan sosiologi yang lama di Eropa tidak relevan lagi. Mereka
berupaya menemukan pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat pada
saat itu. Maka lahirlah sosiologi modern.
Berkebalikan dengan
pendapat sebelumnya, pendekatan sosiologi modern cenderung mikro (lebih sering
disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari
mulai dari fakta sosial demi fakta sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial
itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Sejak saat
itulah disadari betapa pentingnya penelitian (research) dalam sosiologi, dan
dalam sosiologi modern ini lebih memunculkan rincian tentang teori-teori dalam
konteks lebih luas.
BAB III
PENUTUP
Kita dapat melihat faktor-faktor sosial yang mempengaruhi tindakan sosial kita sebagai bagian dari masyarakat. Perspektif Struktural Fungsional lebih menekankan pada permainan fungsi-fungsi struktural yang ada di dalam masyarakat. Saya berbuat ini atau itu karena saya tunduk pada "aturan main" yang telah dilembagakan demi menjaga tertib sosial. perspektif Konflik melihat dari sisi lain, bahwa saya berbuat ini atau itu justru karena saya tengah terlibat dalam upaya memperebutkan sumber-sumber materi kehidupan yang terbatas. Jadi, motif penguasaan materi itulah yang utama, yang justru tidak dapat dihindarkan dalam sejarah kehidupan manusia. Perebutan ini jika dibiarkan mengikuti paham kapitalis, pasti akan berujung pada kondisi chaos. Interaksi Simbolik melihat secara lebih spesifik, bahwa saya berbuat ini atau itu semata-mata karena makna simbolik (image) yang saya yakini terhadap sesuatu. Image yang saya yakini berinteraksi dengan image yang diyakini pihak lain, sehingga suatu ketika terciptalah konsensus yang memandu tindakan bersama atas dasar rencana dan kondisi yang disepekati tersebut. Teori Pertukaran Sosial yang memandang tindakan sebagai akibat adanya pertukaran harapan antara pain dan pleasure, atau kerugian dan keuntungan. teori fenomenologi adalah tindakan manusia menjadi suatu hubungan social bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakan tertentu dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai suatu yang penuh arti. Pemahaman secara subjektif terhadap sesuatu tindakan sangat menetukan kelangsungan proses interaksi social. Teori Dependensi adalah suatu keadaan dimana keoutusan-keputusan utama yang mempengaruhi kemajuan ekonomi di Negara berkembang seperti keputusan mengenai harga komoditi, pola investasi, hubungan moneter, dibuat oleh individu atau institusi di luar Negara yang bersangkutan. Secara historis, teori Dependensi lahir atas ketidakmampuan teori Modernisasi membangkitkan ekonomi negara-negara terbelakang, terutama negara di bagian Amerika Latin. Secara teoritik, teori Modernisasi melihat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di negara Dunia Ketiga terjadi karena faktor internal di negara tersebut. Karena faktor internal itulah kemudian negara Dunia Ketiga tidak mampu mencapai kemajuan dan tetap berada dalam keterbelakangan.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Zulkarimen, Komunikasi Pembangunan Pengenalan Teori dan
Penerapannya Edisi Revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Elly M. Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Pasar Edisi Kedua, PT Kencana Prenada Media
Group, 2007.
Johnson, D.P. 1986. Teori
Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta : Gramedia.
Ritzer, G. & Goodman D.J. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana.
George
Riter, Douglas J. Goodman, Edit. Tri Wibowo Budi Santoso, Teori
Sosiologi Modern, Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2007.
Yesmil
Anwar & Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, PT Gramedia Widiasara
Indonesia, Jakarta : 2008
Johnson
Doyle Paul, 1994, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, pent, Robert
M.Z. Lawang, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
M.
Siahaan Hotman, 1997, Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi,
Yogyakarta: IKAPI.