Sabtu, 21 Oktober 2017

TEORI AGUS COMTE MELAHIRKAN TUJUH PERSPEKTIF


 

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi dan Antropologi

Disusun Oleh:
       SAHUDA (1657020147)

Dosen Pengganti :
Alva Beriansyah, S.Ip.

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) RADEN FATAH

PALEMBANG 1439/2017


BAB I
PENDAHULUAN
Perspektif merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang sesuatu hal, dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal berdasarkan cara-cara tertentu, dan cara-cara tersebut berhubungan dengan asumsi dasar yang menjadi dasarinya, unsur-unsur pembentuknya dan ruang lingkup apa yang dipandangnya.
Perspektif membimbing setiap orang untuk menentukan bagian yang relevan dengan fenomena yang terpilih dari konsep-konsep tertentu untuk dipandang secara rasional.
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa perspektif adalah kerangka kerja konseptual, sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang mempengaruhi perspektif manusia sehingga menghasilkan tindakan dalam suatu konteks situasi tertentu.
Dalam konteks sosiologi juga memiliki perspektif yang memandang proses sosial didasarkan pada sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang melingkupi proses sosial yang terjadi.
Dalam mengamati perubahan ekonomi, politik dan sosial, para teoritisi menggunakan berbagai label dan kategori teoritis yang berbeda untuk menggambarkan ciri-ciri dan struktur masyarakat lama yang telah  runtuh dan tatanan masyarakat baru yang sedang terbentuk. Herbet Spencer melihatnya dengan kategori  masyarakat  militer  dan  industri  serta August Comte  mengujinya dengan tiga tahap perkembangan yaitu tahap teologis, metafisik dan positif atau ilmiah.









BAB II
PEMBAHASAN
 Auguste Comte (1798-1857)
Comte merupakan orang pertama yang menggunakan kata sosiologi dalam upaya mempelajari tentang perilaku manusia. Meskipun Comte yang memberikan istilah positivis, gagasan yang terkandung dalam kata itu bukan dari dia asalanya. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya. Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organic yang kenyataannya lebih dari pada sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan ini.
Social statics dan social dynamics
Comte membagi sosiologi menjadi dua bagian, social statics dan social dynamics. Dengan social statics dimaksudkannya sebagai suatu studi tentang hokum-hukum aksi dan reaksi antara bagian-bagian dari suatu system social. Bagian yang paling penting dari sosiologi menurut Comte adalah apa yang disebutnya dengan social dynamics, yang didefinisikannya sebagai teori tentang perkembangan dan kemajuan masyarakat manusia.[1]
Social statics dimaksudkan Comte sebagai teori tentang wajib daar masyarakat. Sekalipun social statics merupakan bagian yang lebih elementer dalam sosiologi tetapi kedudukannya tidak begitu penting dibandingkan social dynamic. Fungsi dari social static adalah untuk mencari hokum-hukum tentang aksi dan reaksi dari pada berbagai bagian di dalam suatu system social.[2] 
Hukum Tiga Tahap
Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner ummat manusia dari masa primitive sampai ke peradaban Prancis abad ke Sembilan belas yang sangat maju. Hokum ini menjelaskan bahwa masyarakat-masyarakat (atau manusia) berkembang melalui tiga tahap utama, tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan: teologis, metafisik, dan positif.
Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, dan untuk analisa terperinci maka Comte membaginya kedalam periode fetisisme, politeisme dan monoteisme.
Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hokum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi.
Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai data pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak; semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus-menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas.[3]
Pada perkembangan selanjutnya terdapat 7 perspektif dalam sosiologi yang akan dipaparkan dalam tulisan ini yaitu :
1. Perspektif Struktural Fungsional
Tokoh-tokoh perpektif ini yang dikenal luas antara lain: Talcot Parsons, Neil Smelser. Ciri pokok perspektif ini adalah gagasan tentang kebutuhan masyarakat (societal needs). Masyarakat sangat serupa dengan organisme biologis, karena mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar masyarakat dapatmelangsungkan keberadaannya atau setidaknya berfungsi dengan baik. Ciri dasar kehidupan sosial struktur sosial muncul untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan merespon terhadap permintaan masyarakat sebagai suatu sistem sosial. Asumsinya adalah ciri-ciri sosial yang ada memberi kontribusi yang penting dalam mempertahankan hidup dan kesejahteraan seluruh masyarakat atau subsistem utama dari masyarakat tersebut. Pemahaman seperti ini dalam pandangan Talcot Parsons menghantarkan kita untuk memahami masyarakat manusia dipelajari seperti mempelajari tubuh manusia.
a. Struktur tubuh manusia memiliki berbagai bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Oleh karena itu, masyarakat mempunyai kelembagaan yang saling terkait dan tergantung satu sama lain.
b. Oleh karena setiap bagian tubuh manusia memiliki fungsi yang jelas dan khas, demikian pula setiap bentuk kelembagaan dalam masyarakat. Setiap lembaga dalam masyarakat melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas dan pertumbuhan masyarakat tersebut. Functional imperative menggambarkan empat tugas utama yang harus dilakukan agar masyarakat tidak mati yaitu :
Adaptation to the environment : Contoh lembaga ekonomi
Goal attainment Contoh : pemerintah bertugas untuk mencapai tujuan umum
Integration Contoh : lembaga hukum, dan lembaga agama
Latentcy Contoh : keluarga dan lembaga pendidikan bertugas untuk usaha pemiliharaan.
Analogi dengan tubuh manusia mengakibatkan Parsons merumuskan konsep keseimbangan dinamis-stasioner, jika satu bagian tubuh manusia berubah maka bagian lain akan mengikutinya. Demikian juga dengan masyarakat, masyarakat selalu mengalami perubahan tetapi teratur. Perubahan sosial terjadi pada satu lembaga akan berakibat perubahan di lembaga lain untuk mencapai keseimbangan baru. Berikutnya Parsons merumuskan konsep faktor kebakuan dan pengukur (pattern variables) untuk menjelaskan perbedaan masyarakat tradisional dengan masyarakat modern. Faktor kebakuan dan pengukur ini menjadi alat utama untuk memahami hubungan sosial yang berlangsung berulang dan terwujud dalam sistem kebudayaan. Faktor tersebut adalah :
Particularistic vs Universalistic
Masyarakat tradisional cenderung untuk berhubungan dengan anggota masyarakat dari kelompok lain sehingga ada rasa untuk memikul tanggungjawab bersama. Masyarakat modern berhubungan satu sama lain dengan batas norma-norma universal yang pribadi
Collective vs Self Orientation
Masyarakat tradisional biasanya memiliki kewajiban-kewajiban kekeluargaan, komunitas dan kesukuan. Masyarakat modern lebih bersifat individualistik
Ascription vs Achievement
Masyarakat tradisional memandang penting status bawaan dan warisan, masyarakat modern tumbuh dalam persaingan yang ketat dan dinilai melalui prestasi
Functional Difused vs Functionally Specific
Masyarakat tradisional belum merumuskan fungsi kelembagaan secara jelas. Masyarakat modern sudah jelas merumuskan tugas kelembagaannya.
Dari sejumlah asumsi dasar tersebut maka secara esensial pendekatan ini mengkaji kehidupan sosial manusia sebagai berikut :
Masyarakat merupakan sistem yaang kompleks yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan tergantung satu sama lain, serta setiap bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya.
Setiap bagian dari suatu masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi dalam memelihara eksistensi dan stablitas masyarakat secara keseluruhan.
Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan dirinya yaitu mekanisme yang dapat merekatkanya menjadi satu. Mekanisme ini adalah komitmen para anggota masyarakat kepada serangkaian kepercayaann dan nilai yang sama.
Masyarakat cenderung mengarah pada suatu keseimbangan (equilibrium) dan gangguan pada salah satu bagiannya cenderung menimbulkan penyesuaian pada bagian lain agar tercipta harmoni atau stabilitas.
Perubahan sosial merupakan kejadian yang tidak biasa dalam masyarakat, tetapi bila itu terjadi, maka perubahan itu pada umumnya akan membawa kepada konsekuensi-konsekuensi yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.
2. Perspektif Konflik
Manusia membuat sejarah; sejarah yang kita buat selalu terjadi dalam suasana interaksi dengan orang lain. Manusia adalah mahluk sosial yang keberadaannya diciptakan dalam acuan interaksi sosial. Karena itu beberapa pemikir melihat interaksi sosial sebagai mekanisme yang mengerakan perubahan, terutama menggerakan konflik. Beberapa tokoh seperti Ibnu Khaldun, Karl Marx, Vilfredo Pareto melihat jalannya sejarah didorong oleh konflik antar manusia.
Perhatian manusia terhadap konflik telah tercermin dalam literatur kuno. Max Weber menyatakan perang antar dewa di zaman kuno bukan hanya untuk melindungi kebenaran nilai-nilai kehidupan sehari-hari, tetapi juga keharusan memerangi dewa-dewa lain, sebagai komunitas mereka juga berperang dan dalam peperangan inipun mereka harus membuktikan kemahakuasaan mereka. Sebagai contoh dalam mitologi Yunani mengenal Ares dewa perang yang dibenci oleh dewa-dewa lain karena sifatnnya yang kejam, saudara perempuannya Eris adalah dewi percekcokan yang gemar bertengkar dan berperang. Rekannya dari Romawi adalahMars dan Discardia.
Sejumlah pengamat politik dan sosial lain menekankan pentingnya konflik dalam kehidupan manusia; antara lain Polybius sejarawan Romawi, Khaldun, Machiavelli, Jean Bodin dan Thomas Hobbes
Konflik antar kepentingan diri sendiri dan kepentingan sosial meliputi karya Adam Smith, temuan Charles Darwin yang menyatakan bahwa “Yang kuatlah yang paling beruntung dalam perjuangan mempertahankan hidup.”Ide Darwin diterapkan pada tatanan sosial dalam ideologi sosial Darwinisme, yang mula-mula menerapkannya adalah Herbert Spencerdan WG Summer. Mereka menyatakan apa yang kemudian diakui sebagai landasan pembenaran ilmiah bagi taktik bisnis yang kejam dari kapten industri abad 19. Para kapten industri adalah anggota masyarakat yang terkuat dan orang yang kurang mampu yang tidak cakap harus menerima nasib mereka demi kesejahteraan masyarakat.
Jadi, evolusi sosial dibayangkan sejalan dengan evolusi biologis. Orang yang mampu bertahan hidup terbukti adalah orang yang terkuat. Di Amerika abad 19, kapten industri adalah mereka yanng terkuat, pemenang dari perjuangan keras untuk mempertahankan hidup dalam dunia bisnis.
Pandangan tersebut yang kemudian mendasari asumsi bahw evolusi sosial dan kultural sepenuhnya adalah hasil dari konflik antar kelompok.
Perang antar kelompok dapat disamakan dengan perjuangan untuk mempertahankan hidup dan yang terkuatlah yang menang dalam kehidupan sosial. Kebencian yang besar dan yang melekat antar kelompok, antar ras dan antar orang yang berbeda menyebabkan konflik tak terelakan.
Penaklukan dan pemuasan kebutuhan melalui pemerasan tenaga kerja dan ditaklukan merupakan tema besar sejarah manusia.
Vilfredo Pareto melukiskan sejarah sebagai perjuangan memperebutkan kekuasaan yang tak berkesudahan, kelompok dominan berusaha memelihara dan mempertahankan kedudukannya; kekuatan adalah faktor terpenting dalam mempertahankan stabilitas, kekerasan mungkin diperlukan untuk memulihkan keseimbangan sosial jika keseimbangan itu terganggu. Kekerasan tidak memerlukan pembenaran moral, karena kekerasan mempunyai kualitas pembaharuan membebaskan manusia untuk mengikuti ketentuan tak rasional dari sifat bawaannya sendiri.
Albion Small dan Lester Ward menegaskan bahwa setiap jenis struktur apakah inorganik, organik atau sosial diciptakan oleh interaksi kekuatan-kekuatan yang bersifat antagonis. Interaksi demikian merupakan hukum universal dan hukum itu berarti bahwa struktur terus menerus berubah, mulai dari tingkat primordial yang sangat sederhana hingga ke tingkat kedua yang lebih rumpil.
Berbeda dengan pandangan Pareto, Wardtidak menghubungkan konflik antar kelompok dengan kebencian bawaan tetapi lebih disebabkan pelanggaran tak terelakkan oleh satu kelompok atas hak dan wilayah kelompok lain. Dari konflik antar kelompok ini munculah negara dan konflik antar negara memperbesar efisiensi sosial dan meningkatkan peradaban.
Menurut Dahrendorf, konflik sosial mempunyai sumber struktural yakni hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi sosial, dengan kata lain konflik antar kelompok dapat dilihat dari sudut konflik tentang keabsahan hubungan kekuasaan yang ada.
Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perspektif ini memiliki proporsi sebagai berikut :
Setiap masyarakat dalam segala hal tunduk pada proses perubahan; perubahan sosial terjadi dimana saja.
Setiap masyarakat dalam segala hal memperlihatkan ketidaksesuaian dan konflik; konflik sosial terdapat dimana saja.
Setiap unsur dalam masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahannya
Setiap masyarakat berdasarkan atas penggunaan kekerasan oleh sebagian anggotanya terhadap anggota yang lain.
3. Perspektif Interaksi Simbolik
Manusia itu mahluk sosial (hidup berkelompok). Sebagai mahluk sosial, mereka berinteraksi dan berkomunikasi dengan menggunakan simbol-simbol tertentu (a.l. bahasa). Ingat manusia adalah animal symbolicum. Namun, simbol-simbol itu tidak hanya untuk keperluan berhubungan antarpribadi, melainkan juga untuk keperluan pribadi (berpikir). Setiap orang/kelompok akan memaksakan pandangannya sendiri (self-image) kepada pihak lain ~ tercipta proses “desak-mendesak” sampai kemudian terwujud WORKING CONSENSUS yang memungkinkan adanya tindakan-tindakan bersama. Working consensus itu memberi arahan tentang rencana (strategi menuju tujuan) bersama dalam hidup bermasyarakat. Jadi pada tingkat mikro pun, setiap orang berusaha belajar memahami orang lain. Oleh sebab itu, sistem sosial pun mengalami MORFOGENESE (terus belajar dan mengubah dirinya sendiri). HUKUM pun dapat dipandang sebagai hasil dari morfogenese.
Teori ini juga bisa menjelaskan fenomena persekutuan sesaat yang kerap terjadi dalam konflik politik. Lewis Coser misalnya menjelaskan tentang adanya "conflict binds antagonistists” (kelompok-kelompok yang bertentangan dapat bersatu demi menghadapi lawan bersama). Jadi image tentang "musuh" mengalamai morfogenese terkait dengan rencana dan kebutuhan situasional. Akibatnya, pihak-pihak ini membuat sebuah working consensus mengubah definisi musuh dan melakukan tindakan atas musuh bersama tadi. Di sini berlaku adigium yang sering terjadi dalam dunia politik antar-bangsa yakni "musuh dari musuh saya adalah kawan saya." Pada PD II, pasukan Chiang & Mao berhenti berperang demi menghadapi musuh bersama mereka yaitu Jepang; namun ketika Jepang berhasil dikalahkan, kedua kelompok ini kembali bersitegang. Hal serupa terjadi di Indonesia. Setelah G-30-S/PKI, berbagai kelompok sosial dan keagamaan di Indonesia bersatu menghadapi PKI, melupakan untuk sementara pebedaan terjadi.

4. Teori Pertukaran Sosial
Teori Pertukaran Sosial berpendapat manusia itu mahluk yang penuh pamrih.
Setiap orang ingin mendapatkan keuntungan dari hubungannya dengan orang lain. KEUNTUNGAN = IMBALAN (respons pihak lain) – BIAYA (kewajiban, rasa khawatir, kebosanan dll.). Perhitungan keuntungan itu merupakan pilihan rasional  (rational choice theory). Di sini terjadi pertukaran (take and give) antara IMBALAN dan BIAYA. Sekalipun demikian, dalam hal tertentu, manusia juga sadar tidak selalu keuntungan berada di pihaknya. Oleh sebab itu, untuk sementara seseorang dapat saja berkorban demi perhitungan keuntungan di kemudian hari.

Pertukaran sosial tidaklah sama dengan pertukaran ekonomi. Pada pertukaran sosial, prestasi dari para pihak tidak harus spesifik, sementara dalam pertukaran ekonomi harus spesifik. Jika dalam pertukaran ekonomi, yang terjadi adalah pertukaran KEWAJIBAN, maka pada pertukaran sosial yang terjadi adalah pertukaran HARAPAN. Ingat, bahwa HARAPAN berarti tidak selalu ada jaminan bahwa suatu hari ia pasti mendapatkan. Prinsip rasionalitas ini sudah disinggung oleh Jeremy Bentham (tokoh utilitarianisme) dengan perhitungan PLEASURE versus PAIN. Kalkulus hedonistis (hedonistic calculus) yang dikembangkannya berangkat dari perhitungan atas faktor-faktor: intensitas (intensity); lamanya kesenangan/penderitaan berlangsung (duration); kepastian akan terjadi (certainty); jauh dekat perasaan (cepat-lambat efeknya) (propinqity); akibat yang ditimbulkan (fecundity); kemurnian (purity); dan jangkauan (extent). Perilaku mabuk (akibat mengkonsumsi minuman keras), misalnya, dapat diukur dengan melihat seberapa banyak pleasure dan pain yang dihasilkan.
Teori Pertukaran Sosial juga kerap kita praktikkan dalam hal kita memutuskan untuk menolong atau tidak menolong orang lain.
5. Teori  Fenomenologi
Syamsir (2006, hal 11), Alfred de eschutz berpendapat bahwa teori fenomenologi adalah tindakan manusia menjadi suatu hubungan social bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakan tertentu dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai suatu yang penuh arti. Pemahaman secara subjektif terhadap sesuatu tindakan sangat menetukan kelangsungan proses interaksi social.
Walaupun istilah fenomenologi untuk menandai suatu metode filsafat yang ditemukan oleh Edmund huserl, namun mereka yang telah merujukkan diri mereka dengan menamakan kaum fenomenologis atau yang dianggap kaum lain. Fenomenologi bukanlah suatu aliran atau suatu system. Bahkan istilah ” gerakan “ sebagai mana yang digunakan penganut sejarah fenomenologi mengalamatkan suatu kesalahan, ketidak jelasan label fenomenologi tidak menurunkan famornya yang telah diperkenalkan sejak decade abad 19-an. Zeidlin (1998, hal 208).
6. Teori Dependensi (Ketergantungan)
Secara garis besar, teori Dependensi adalah suatu keadaan dimana kePutusan-keputusan utama yang mempengaruhi kemajuan ekonomi di Negara berkembang seperti keputusan mengenai harga komoditi, pola investasi, hubungan moneter, dibuat oleh individu atau institusi di luar Negara yang bersangkutan.
Pada umumnnya memberikan gambaran melalui analisis dialektesis yaitu suatu analisis yang menganggap bahwa gejala-gejala social yang dapat diamati sehari-hari pasti mempunyai penyebab tertentu. Teori ini menjadi titik tolak penyusaian ekonomi terbelakang pada system dunia, sedemikian rupa sehingga menyebabkan terjadinya penyerahan sumber penghasilan daerah ke pusat, sehingga mengakibatkan perekonomian daerah menjadi terbelakang.
Menurut Servaes (1986), teori-tteori Dependensi dan keterbelakangan lahir sebagai hasil “revolusi intelektual” secara umum pada pertengahan tahun 60-an sebagai tantangan para ilmuan Amerika Latin terhadap pandangan Barat mengenai pembangunan . meskipun paradigm Dependensi dapat dikatakan asli Amerika Latin, namun “bapak pendiri” perspektif ini adalah Baran, yang bersama Magdoff dan Sweezy merupakan juru bicara kelompok North American Monthly Review.
Baran merupakan orang pertama dalam mengemukakan bahwa pembangunan dan keterbelakanganharus dilihat sebagai suatu proses yang: (a) saling berhubungan dan berkesinambungan (interrelated and continuous process), dan (b) merupakan dua aspek dari satu proses yang sama, dari keadaan eksistensi yang orisinil. Pada umumnya membahas secara serius masalah colonial yang secara historis membekas pada pertumbuhan di negara-negara Amerika Latin, Afrika dan Asia. Menurut mereka, kecuali dengan suatu pengenalan yang eksplisit akan konsekuensi hubungan tersebut, maka mustahil dapat diperoleh suatu pengertian yang akurat mengenai situsi yang sekarang di negara-negara tersebut. Dengan kata lain bahwa keterbelakangan yang ada sekarang ini merupakan konsekuensi masa penjajahan yang telah dialami oleh negara-negara baru.
Proses keterbelakangan yang melanda negara-negara baru, menurut Furtado (1972) meliputi tiga tahapan historis yang terdiri dari:
1.      Tahap keuntungan-keuntungan komparatif. Selama periode seusai revolusi industry, ketika system divisi tenaga kerja internasional  diciptakan dan ekonomi dunia distrukturkan, negara-negara industry pada umumnya menspesialisasikan diri pada kegiatan-kegiatan yang ditandai dengan kemajuan teknik yang menyebar.
2.      Tahap substitusi impor. Terbentuknya suatu kelompok social kecil dengan keistimewaan (privilages) dikalangan bangsa-bangsa yang terbelakang menimbulkan suatu keharusan untuk mengimpor sejumlah barang-barang tertentu guna memenuhi pola konsumsi yang telah diadopsi kelompok ini dalam meniru bangsa yang kaya.
3.      Tahap berkembangnya perusahaan multi-nasional (PMN). Timbulnya PMN telah menjadi suatu fenomena terpenting dalam tatanan ekonomi internasional, karena transaksi internal yang dilakukan oleh PMN telah mengambil alih operasi pasar yang ada selama ini.
Cardozo menunjukkan unsur keempat yang  menunjang proses keterbelakangan ini, yaitu semakin mantapnya elit-elit local domestic di Negara berkembang oleh elit internasional. Suatu analisis kelas menunjukkan bahwa kemimpinan di banyak Negara berkembang-khususnya di Negara yang paling terintegrasi ke dalam ekonomi pasar dunia-adalah  didukung oleh jalinan hubungan-hubungan bisnis, social dan politik yang dibina selama bertahun-tahun dan dipimpin oleh negara-negara maju.
Sterusnya Baran dan Hobsbauw (1961) menegaskan bahwa untuk menanggulangi masalah keterbelakangan, harus dipahami lebih dulu. Dalam teori tahapan pertumbuhan ekonomi dan model-model pembangunan yang dipengaurhinya tampak seakan-akan negara-negara yang disebut terbelakang itu muncul begitu saja entah dari mana.
Dalam teori semacam itu, negara-negara yang belum berkembang itu digambarkan seolah-olah tidak punya riwayat sejarah, dan mereka begitu saja dikelompokkan bersama di bawah satu label: masayarakat tradisional.
Hubungan ketrgantungan tersebut bukan semata-mata dibidang ekonOmi saja. Para penulis seperti Freire (1968) dan Rayan (1971) menunjukkan bahwa disebarluaskannya idoelogi-ideologi, system-sistem keyakinan, konglomerasi nilai-nilai, dan lain-lain dari negara-negara maju di negara-negara satelit merupakan suatu cara untuk melegitimasikan struktur-struktur kekuasaan yang ada sekarang, berikut keadaan ketergantungan tadi.

7. Teori Modern
Pada permulaan abad ke-20, gelombang besar imigran berdatangan ke Amerika Utara. Gejala itu berakibat pesatnya pertumbuhan penduduk, munculnya kota-kota industri baru, bertambahnya kriminalitas dan lain lain. Konsekuensi gejolak sosial itu, perubahan besar masyarakat pun tak terelakkan.
Perubahan masyarakat itu menggugah para ilmuwan sosial untuk berpikir keras, untuk sampai pada kesadaran bahwa pendekatan sosiologi yang lama di Eropa tidak relevan lagi. Mereka berupaya menemukan pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Maka lahirlah sosiologi modern.
Berkebalikan dengan pendapat sebelumnya, pendekatan sosiologi modern cenderung mikro (lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari mulai dari fakta sosial demi fakta sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Sejak saat itulah disadari betapa pentingnya penelitian (research) dalam sosiologi, dan dalam sosiologi modern ini lebih memunculkan rincian tentang teori-teori dalam konteks lebih luas.








BAB III
PENUTUP

Kita dapat melihat faktor-faktor sosial yang mempengaruhi tindakan sosial kita sebagai bagian dari masyarakat. Perspektif Struktural Fungsional lebih menekankan pada permainan fungsi-fungsi struktural yang ada di dalam masyarakat. Saya berbuat ini atau itu karena saya tunduk pada "aturan main" yang telah dilembagakan demi menjaga tertib sosial. perspektif Konflik melihat dari sisi lain, bahwa saya berbuat ini atau itu justru karena saya tengah terlibat dalam upaya memperebutkan sumber-sumber materi kehidupan  yang terbatas. Jadi, motif penguasaan materi itulah yang utama, yang justru tidak dapat dihindarkan dalam sejarah kehidupan manusia. Perebutan ini jika dibiarkan mengikuti paham kapitalis, pasti akan berujung pada kondisi chaos.  Interaksi Simbolik melihat secara lebih spesifik, bahwa saya berbuat ini atau itu semata-mata karena makna simbolik (image) yang saya yakini terhadap sesuatu. Image yang saya yakini berinteraksi dengan image yang diyakini pihak lain, sehingga suatu ketika terciptalah konsensus yang memandu tindakan bersama atas dasar rencana dan kondisi yang disepekati tersebut.  Teori Pertukaran Sosial yang memandang tindakan sebagai akibat adanya pertukaran harapan antara pain dan pleasure, atau kerugian dan keuntungan.
teori fenomenologi adalah tindakan manusia menjadi suatu hubungan social bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakan tertentu dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai suatu yang penuh arti. Pemahaman secara subjektif terhadap sesuatu tindakan sangat menetukan kelangsungan proses interaksi social. Teori Dependensi adalah suatu keadaan dimana keoutusan-keputusan utama yang mempengaruhi kemajuan ekonomi di Negara berkembang seperti keputusan mengenai harga komoditi, pola investasi, hubungan moneter, dibuat oleh individu atau institusi di luar Negara yang bersangkutan. Secara historis, teori Dependensi lahir atas ketidakmampuan teori Modernisasi membangkitkan ekonomi negara-negara terbelakang, terutama negara di bagian Amerika Latin. Secara teoritik, teori Modernisasi melihat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di negara Dunia Ketiga terjadi karena faktor internal di negara tersebut. Karena faktor internal itulah kemudian negara Dunia Ketiga tidak mampu mencapai kemajuan dan tetap berada dalam keterbelakangan.



DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Zulkarimen,  Komunikasi Pembangunan Pengenalan Teori dan Penerapannya Edisi Revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Elly M. Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Pasar Edisi Kedua, PT Kencana Prenada Media Group, 2007.
Johnson, D.P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta : Gramedia.
Ritzer, G. & Goodman D.J.  2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana. 
George Riter, Douglas J. Goodman, Edit. Tri Wibowo Budi Santoso, Teori Sosiologi Modern, Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2007.
Yesmil Anwar & Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, PT Gramedia Widiasara Indonesia, Jakarta : 2008
Johnson Doyle Paul, 1994, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, pent, Robert M.Z. Lawang, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
  M. Siahaan Hotman, 1997, Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi, Yogyakarta: IKAPI.



[1] Hotman M. Siahaan, Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi, (Yogyakarta: IKAPI, 1997), hal: 104-105
[2] Ibid, hlm 111
[3]Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, pent, Robert M.Z. Lawang (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994). Hlm. 84-85

Rabu, 12 Juli 2017

MAKALAH OTORITER DAN TOTALITER





Disusun Oleh:
               Sahuda (1657020159)

Dosen Pembimbing :
Alva Beriansyah, S.Ip.

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) RADEN FATAH
PALEMBANG 1439/2017








BAB I

PENDAHULUAN


Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. (Wikipedia)

Di dalam Republik ini terdapat beberapa dasar politik[1]yang diantaranya terdiri atas otoriter dan totaliter.Otoriter, yaitu bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat kebebasan individu.semua dikuasai oleh sang DIKTATOR. Sedangkan totaliter adalah sebagai lawan dari sistem demokrasi, sistem totaliter adalah bentuk pemerintahan dari suatu negara yang bukan hanya selalu berusaha menguasai segala aspek ekonomi dan politik masyarakat, tetapi juga selalu berusaha menentukan nilai-nilai 'baik' dan 'buruk' dari prilaku, kepercayaan dan paham dari masyarakat. Sebagai akibatnya, tak ada lagi batas pemisah antara hak dan kewajiban oleh negara dan oleh masyarakat.Semua dibatasi oleh negara.Segalanya dikuasai oleh negara, baik pendidikan, politik, bahkan media.

Perbedaan antara otoriter dengan totaliter ada pada sistem pemerintahannya.untuk totaliter, sistem pemerintahannya lebih elegan. mereka menjalankan fungsi pemerintahan, berbeda dengan otoriter yang menjalankannya secara pribadi. intinya untuk pemerintahan, totaliter LEBIH BAIK daripada otoriter.







BAB II
PEMBAHASAN


Arti dari otoriter adalah: oto.ri.ter
Adjektiva (kata sifat) berkuasa sendiri; sewenang-wenang: tindakan yang otoriter[2]Istilah otoriter ini berasal dari bahasa Inggris, authority, yang berarti pengaruh, kuasa, wibawa, otoritas.
Kepemimpinan otoriter atau bisa di sebut kepemimpinan otokratis atau kepemimpinan diktator adalah suatu kepemimpinan dimana seorang pemimpin ber tindak sebagai diktator, pemimpin adalah penguasa, semua kendali ada di tangan pemimpin.Otoriter adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh satu orang.Istilah otokrasi berasal dari bahasa yunani. Istilah otokratis berasal dari dua kata yaitu: autos dan kratos. Autos berarti sendiri atau diri pribadi, kratos adalah kekuasaan atau kekuatan.Jadi otokratis berarti berkuasa sendiri secara mutlak (centre of authority).
Pemimpin otoriter (dictator) dalam praktik memimpin ia mengutamakan kekuasaan (power). Seorang pemimpin bertipe otokratis menganggap dirinya adalah segala-galanya. Egonya kokoh menyatakan dirinya adalah pusat kekuasaan dan kewenangan, sehingga ia berhak menjadikan anak buah sesuai dengan kehendaknya, bawahan tidak boleh membantah atau mengajukan saran. Kekuasaan pemimpin yang otoriter hanya dibatasi oleh undang-undang.Pemimpin jenis otoriter biasanya sangat perhatian terhadap efisiensi dan efektivitas kerja, tetapi meninggalkan perhatian pada peran anak buah dalam satu kesatuan gerak guna keberhasilan kepemimpinannya.Pemimpin yang otokratis tidak menghendaki rapat-rapat atau musyawarah.Setiap perbedaan pendapat diantara para bawahannya diartikan sebagai kepicikan, pembangkangan, atau pelanggaran disiplin terhadap perintah atau instruksi.





2. Gaya dan Ciri Kepemimpinan Otoriter

Gaya
Kepemimpinan Otoriteradalah gaya pemimpin yang memusatkan segala keputusan dan kebijakan yang diambil dari dirinya sendiri secara penuh. Pada gaya kepemimpinan ini, pemimpin mengendalikan semua aspek kegiatan. Pemimpin memberitahukan sasaran apa saja yang ingin dicapai dan cara untuk mencapai sasaran tersebut, baik itu sasaran utama maupun sasaran minornya.
Ciri-ciri kepemimpinan otoriter antara lain:
1.      Memegang kewenangan mutlak (bersikap adigang, adigung, dan adiguna).
2.      Kuasa dipusatkan pada diri pemimpin ( aji mumpung).
3.      Merumuskan ide sendiri, rencana dan tujuan.
4.      Memilih kebijakan sendiri.
5.      Menetapkan keputusan sendiri.
Tipe kepemimpinan Otoriter antara lain yaitu:
1.      Mempraktekkan komunikasi satu arah (one way traffic of communication).
2.      Pengawasan kepada anak buah ketat.
3.      Saran, pertimbangan, pendapat dari bawahan tertutup sama sekali.
Sikap tipe perilaku otoriter jika menghadapi bawahan:
1.      Mementingkan tugas dibandingkan pendekatan kemanusiaan.
2.      Memaksa bawahan untuk patuh dan menuntut kesetiaan mutlak.
3.      Memaksa, mengancam, menghukum atau mengintimidasi kepada anak buah.
4.      Serba intruksi dan perintah.
5.      Kasar dalam fikiran, perasaan dan perbuatan.
6.      Mencari perhatian keatasan kalau ia memimpin tingkat Lini dan Menengah.
7.      Lebih banyak kritik dari pada memuji bawahan.[3]





B.     TOTALITER


Istilah totaliter berasal dari bahasa Latin totus, yang berarti seluruh atau utuh.Totaliter ini dapat diartikan sebagai bentuk pemerintahan dengan kekuasaan mutlak negara terhadap hampir seluruh bidang kehidupan masyarakat.Kendali pemerintahan biasanya diserahkan kepada satu partai politik dan umumnya dipimpin oleh seorang diktator.
Menurut Franz magnis-Suseno, totaliterisme merupakan istilah ilmu politik untuk menyebut gejala: Negara Totaliter. Negara totaliter adalah sebuah sistem politik yang, dengan melebihi bentuk-bentuk kenegaraan despotik tradisional, secara menyeluruh mengontrol, menguasai dan memobilisasikan segala segi kehidupan masyarakat.[4]
Dalam sistem pemerintahan totaliter, hak individu bioleh dikatakan tidak ada.Individu dipandang sebagai hamba negara yang tidak memiliki kebebasan memilih atau bersuara.Pada umumnya peprintahan yang berkuasapun jarang memberi kesempatan kepada masyarakat atau kelompok-kelompok untuk berkumpul, seperti serikat buruh, partai politik, dll.
Rezim totaliter dapat disamakan dengan rezim tradisional pra-demokrasi yang otoriter atau otokratis.Pemerintah otoriter cenderung mempertahankan kekuasaan dari satu orang saja serta cenderung mempertahankan struktur sosial tradisional dan bekerja melalui garis wewenang yang ada.Yang umum terjadi dalam pemerintahan totaliter, dalam upaya menindas atau mengintimidasi individu dan atau kelompok lawan, biasanya mereka menggunakan tatktik teror yang dilakukan oleh tentara atau polisi.Dalam negara yang totaliter, media masa hanya berfungsi sebagai alat propaganda bagi penguasa.
Sebutan totaliter diberikan karena seluruh aspek kehidupan tiap individu harus sesuai dengan garis atau aturan negara, hal ini diperlukan untuk tercapainya tujuan negara, tujuan bersama. Jerman di bawah Nazi misalnya sangat mengagungkan ras Aria, sebagai ras yang unggul di atas semua ras lain di dunia. Untuk mewujudkan hal ini, misalnya pada periode itu dilakukan pemurnian ras Aria di Jerman dengan upaya untuk menghapus ras lain (utamanya Yahudi).Juga dengan dalih untuk mempersatukan Jerman Raya, invasi dilakukan kenegara tetangga yang memiliki penduduk dari Ras Aria.
Pemerintahan Komunis juga kerap dicontohkan sebagai bentuk perwujudan totaliterisme, karena kewenangan negara untuk mengatur tiap sisi kehidupan orang perorang.Argumen pendukungnya adalah bahwa upaya perlawanan terhadap kelompok atau kelas yang berkuasa menuntut pembersihan terhadap keseluruhan tatanan budaya yang mendukungnya.
Bentuk pemerintahan yang mendasarkan diri pada ajaran suatu agama yang menyatukan otoritas politik dan otoritas spiritual punya potensi kuat menjadi negara otoriter.karena negara (sebagai otoritas politik sekuler dan spiritual) bisa mengatur setiap aspek kehidupan warganya.
Masyarakat totaliter adalah sekumpulan kelompok dari suatu ras yang sudah diubah pola pikir dan ideloginya melalui doktrin-doktrin oleh seorang penguasa, dimana masyarakat itu menjadi subordinasi dari si penguasa sehingga jiwa mereka direbut, dituntun dan dikekang sesuai kebutuhan-kebutuhan negara tersebut.
Dalam negara yang totaliter, media masa hanya berfungsi sebagai alat propaganda bagi penguasa.Sosialisasi politik di negara totaliter adalah indoktrinasi politik. Indoktrinasi politik ialah proses sepihak saat penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma, dan simbol yang dianggap pihak yang berkuasa sebagai ideal dan baik. Melalui berbagai forum pengarahan yang penuh paksaaan psikologis, dan latihan penuh disiplin, partai politik dalam sistem politik totaliter melaksanakan fungsi indoktinasi politik.Hitler Sistem pemerintahan totaliter ini dikenal sudah cukup lama dalam sejarah, tetapi baru mencapai puncaknya sekitar tahun 1920 – 1930. Dua rezim yang terkondang pada abad 20 adalah pemerintahan nasional sosialisme “NAZI” di bawah kepemimpinan Adolf Hitler (1933-1945) di jerman dan  di bawah kekuasaan bolshevisme soviet dipimpin Jossif W Stalin (1922-1953) yang lalu menyebar dengan intensitas yang berbeda beda pada Negara Negara komunis lainya di eropa timur (akibat PD II) serta di CINA di Korea Utara dan Indocina. Ciri-ciri Sistem Politik Totaliter Ciri-ciri berikut merupakan hakekat pemerintahan totaliter : Totaliter bukan sekedar peningkatan bentuk-bentuk pemerintahan opresif seperti despotisme, pemerintahan tiranik dan diktator, melainkan sesuatu yang secara hakiki baru. Totalitarisme itu sendiri selalu mengembangkan lembaga-lembaga politik baru dan menghancurkan semua tradisi sosial, legal dan politik yang ada di Negara itu. Totalitarisme mengubah kelas-kelas sosial menjadi massa, menggantikan sistem multi-partai bukan dengan sistem partai tunggal melainkan dengan suatu gerakan massa, mengalihkan pusat kekuasaan dari tentara ke polisi rahasia, mengarahkan politik luar negeri secara terbuka pada kekuasaan dunia. Sistem Politik Totaliter dibedakan menjadi dua bagian, yaitu (1) sistem politik komunis dan (2) sistem politik fasis.[5]
Pengaturan masyarakat secara menyeluruh atas dasar tertentu dengan kelompok kecil penguasa yang memonopoli kekuasaan. Penggunaan sistem mobilisasi massa untuk membentuk masyarakat baru yang akan melaksanakan kebijakan. Penempatan individu di bawah kehendak dari partai tunggal yang mengatasnamakan bangsa dan negara. 
Ciri-ciri sistem politik totaliter antara lain adalah :
1.      Infrastruktur dan fasilitas pemerintahan dikendalikan secara terpusat. Kekuatan politik diperoleh dan dipertahankan melalui suatu sistem represiv yang menentang segala bentuk tentangan atau yang berpotensi yang menentang.
2.      Mengikuti prinsip-prinsip berikut : (a). aturan datang dari seseorang bukan dari hokum. (b). Pemilihan Umum bersifat kaku (sering kali orang bisa mengetahui siapa pemenangnya, bahkan sebelum pemilu itu berlangsung). (c). semua keputusan politis ditentukan oleh satu pihak dan berlangsung tertutup. (d). penggunaan kekuatan politik yang seolah-olah tidak terbatas.
3.      Pemimpin dipilih sendiri atau menyatakan diri. Jika ada pemilihan, hak kebebasan masyarakat untuk memilih cenderung tidak diacuhkan.
4.      Tidak ada jaminan kebebasan sipil, apalagi toleransi yang ingin menjadi oposisi.
5.      Tidak ada kebebasan untuk membentuk suatu kelompok, organisasi, atau partai politik untuk bersaing dengan kekuatan politik yang incumbent.
6.      Kestabilan politik dipertahankan melalui (a). kontrol penuh terhadap dukungan pihak militer untuk mempertahankan keamanan sistem dan kontrol terhadap masyarakat. (b). birokrasi dikuasai oleh orang-orang yang mendukung rezim. (c). kendali terhadap oposisi dari internal Negara. (d). pemaksaan kepatuhan kepada public melalui berbagai cara sosialisasi.[6]
Totalitarisme adalah versi ekstrim dari sistem otoriterisme.Sistem totalitarisme dinilai memiliki karisma kepemimpinan yang tinggi dibanding sistem otoriterisme.Dalam hal peran kepemimpinan, sistem totalitarisme menjalankannya sesuai fungsi, berbeda dengan sistem otoriterisme yang menjalankan secara pribadi.
Sosialisasi politik dalam masyarakat totaliter memiliki banyak cara dan metodenya.[7] Contohnya di Negara Jerman pada masa kepemimpinan Adolf Hitler, sosialisinya yaitu  melalui pendidikan formal dan loyalitas pertama mereka adalah kepada negara, yang dipersonifikasikan oleh pemimpinnya ( fuhrer atau pemimpin ). dimana semua pemuda pada masa itu diasuh dan di dalam keluarga serta sekolah-sekolah, secara fisik, intelektual dan moral harus dididik dalam semangat Sosialisme Nasional lewat pemuda Hitler.
Pada tahun 1939, setiap anak diwajibkan menjadi anggota pemuda Hitler, dan setiap orang tua yang menolak indokrinasi tersebut dapat ditindak dengan jalan diambilnya anak-anak dari asuhan mereka.
Antara usia 6 sampai 10 tahun, anak-anak Jerman memperoleh latihan persiapan dalam hal sejarah perkemahan, atletik dan ideologi. Pada usia 10 tahun mereka di tes, dan bila cocok, anak laki-laki di tingkatkan kejunvolk, sedangkan anak perempuan ditingkatkan ke jungmadel. Dan pada saat itu mereka mengucapkan sumpah setia-patuh kepada Fuhrer.Pada usia 14 tahun anak laki-laki mulai memasuki pemuda Hitler, dan menerima instruksi sistematik dalam ideologi dan latihan fisik serta militer. Dan pada usia 18 tahun mereka masuk dinas kerja, disusul kemudian dengan dinas militer. Pola bagi anak-anak perempuan sama juga, akan tetapi mereka memiliki organisasi-organisasinya sendiri, yaitu jungmadle (dari usia 10 sampai 14 tahun), dan Bund Deutscher Madel (dari usia 14 sampai 21 tahun), yang kemudian disusul dengan dinas 1 tahun di bidang pertanian. Dan jika ada yang menentang dengan kebijakan tersebut maka akan di hukum mati.
Pola sosialisasi yang sama terdapat juga di Uni Soviet, dengan penekananya baik pada pendidikan formal maupun pada gerakan-gerakan pemuda. Semua pengajaran harus disesuaikan dengan ideoligi komunis, dan buku-buku teks digunakan sebagai saran-sarana instruksi politik.
Sosialisasi politik itu tidak dibiarkan menempuh jalannya sendiri, akan tetapi menjadi bagian terpadu dari sistem totaliter, merupakan sarana dengan mana rezim yang bersangkutan secara terang-terangan berusaha mengabadikan dirinya sendiri dan menjadi idiologi yang mendasarinya.


BAB III


Tipe kepemimpinan otoriter adalah kepemimpinan yang sama dengan tipe otokratis, yang mana dari kepemimpinan ini, bawahan tidak berhak menyampaikan saran, pendapat, dan kritik. Dalam kepemimpinan ini seorang pemimpin menganggap dirinya adalah segala-galanya yang memiliki kekuasaan dan kewenangan atas anak buah sesuai dengan kehendaknya.
      Kepemimpinan ini lebih identik dengan system satu orang yang berkuasa, yang berhak menentukan kebijakan, berhak dalam mengambil keputusan terhadap suatu permasalahan dalam organisasi.Kepemimpinan ini hanya dibatasi dengan undang-undang saja.
Istilah totaliter berasal dari bahasa Latin totus, yang berarti seluruh atau utuh.Totaliter ini dapat diartikan sebagai bentuk pemerintahan dengan kekuasaan mutlak negara terhadap hampir seluruh bidang kehidupan masyarakat.Kendali pemerintahan biasanya diserahkan kepada satu partai politik dan umumnya dipimpin oleh seorang diktator.
Masyarakat totaliter adalah sekumpulan kelompok dari suatu ras yang sudah diubah pola pikir dan ideloginya melalui doktrin-doktrin oleh seorang penguasa, dimana masyarakat itu menjadi subordinasi dari si penguasa sehingga jiwa mereka direbut, dituntun dan dikekang sesuai kebutuhan-kebutuhan negara tersebut.
Bentuk sosialisasi politik dalam masyarakat totaliter yaitu melalui pendidikan formal dan gerakan-gerakan pemuda.Semua pengajaran harus disesuaikan dengan ideoligi komunis, dan buku-buku teks digunakan sebagai saran-sarana instruksi politik.





DAFTAR PUSTAKA


A. Prasentyantoko, 1999, Kaum Profesional Menentang Rezim Otoriter, Jakarta: Gramedia.

Arendt Hannah, 1995, Asal-Usul Totaliterisme: jilid III Totaliterisme, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Budiardjo, Miriam, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Carter, April, 1985,Otoritas dan Demokrasi, Jakarta: Rajawali.
Magnis-Suseno, Franz, 2003, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rush Michael, Philip  Althoff, 2008, Pengantar  Sosiologi Politik, Jakarta: Rajawali Pers.






[1]Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm.10
[2]Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
[3]Drs. E. Martono, B. Sc, MM, Ilmu dan Seni Kepemimpinan, (Jakarta: Pustaka Bina Cipta,2014) hal. 56
[4] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta:1991), hal.45
[5]Ibid, hlm. 50
[6]Hannah Arendt, 1995, Asal-Usul Totaliterisme: jilid III Totaliterisme, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1995), hal. 24
[7]Ibid, hal. 26